Showing posts with label Karya. Show all posts
Showing posts with label Karya. Show all posts

CERPEN Yang Tak Termaafkan

by: be_imoet
Kriiiiiiiing......... suara alarm di HPku yang sengaja aku pasang pada jam 03.00 pagi membangunkanku dari tidurku yang sungguh tak nyenyak. Aku bergegas membangunkan Duwik yang sebelumnya sudah pesan agar dibangunkan. Eh, bukannya bangun malah dia bilang “Sudah bangun.” Lalu kembali tidur lagi. Duh, ni anak bener-bener kelewatan. Aku cuma bisa menggeleng. Sial! Gara-gara dia aku tidak bisa tidur lagi. Dengan bermalas-malasan tepat jam 04.45 aku bangun.
Hari yang cukup cerah. Dan aku harus bangun pagi karenanya, padahal aku males banget bangun pagi. Kalo boleh bilang I HATE GET UP EARLY! Entah kalian setuju atau tidak itu urusan kalian. Bangun pagi, mandi pada hawa yang dingin ini lalu berkemas untuk siap-siap pergi ke luar kota. Jam 05.15 aku sudah berada di tempat yang di tunjuk seorang teman saat kami ngatur janji semalam. Kurang lebih 20 menit aku menunggu kedatangannya, dan akhirnya muncul juga tuh orang. Lalu kami naik ke atas bus ke kota tujuan. Iya, kota yang tidak aku harapkan. Benar-benar bukan kota idaman. Jalur lalu lintas yang padat, bus yang penuh sesak dan bikin gerah.
Aku melihat sekelilingku tertidur dan suasana di dalam bus menjadi sepi.
“Duh, ini pada kesirep apaan ya kok pagi-pagi gini di bus yang penuh sesak ini pada bisa tidur?” ucapku dalam hati. Wah, bosen banget nih.... mau ngajak ngobrol siapa? Seorang teman yang duduk disebelahku pun ikut tidur, lalu aku menyibukkan diri dengan HPku, mencoba menikmatinya dengan apa adanya selama kurang lebih satu setengah jam.
Dengan bau air got yang menusuk hidung, aku masih sempat mencium wangi bau makanan di terminal sesaat setelah kami sampai. “Laper....” Kataku manja yang aku tujukan kepada seorang teman sambil memegangi perutku. Teman yang lain menawariku untuk sarapan terlebih dahulu sebelum kami melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju. “Tidak, aku rasa aku tidak akan merasakan kelezatan makanan di tempat seperti ini.” Ujarku. “Tapi ya terserah dia..” Lanjutku. Ucapan yang jelas aku tujukan kepada seorang lainnya. Iya, aku lupa bilang bahwa kami pergi bertiga. Sebenarnya dua orang temanku pergi ke kota itu untuk suatu urusan yang agak penting dan dengan tidak direncanakan semula, aku ikut dengan mereka dengan tujuan akan menemui kakakku untuk mengambil sebuah barang berharga. Iya, aku bilang berharga karena barang itu adalah salah satu aset demi berlangsungnya masa depanku yang belum sempat terbayang olehku.
Akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus selanjutnya. Kami turun di tengah kota, lalu kami berjalan kaki sambil menikmati udara yang lumayan sejuk belum tercemar banyak polusi di pagi itu. Iya, jam 07.30 kami sampai di tempat tujuan. Di sebuah universitas ternama di negeri ini yang merupakan salah satu universitas favorit di kota itu. Wuih, ternyata berderet makanan tersedia di pinggir jalan sepanjang jalan kenangan, eh bukan maksudku jalan menuju kampus itu.
Aku yang sudah tak tahan lapar pun melirik tulisan-tulisan yang tertera di gerobak dorong si penjual. Nah, akhirnya berhenti juga... Agam (seorang teman laki-lakiku) menawariku untuk sarapan. Setelah agak lama, aku memutuskan ikut makan walaupun aku tidak terlalu suka menunya. Iya, bubur ayam sebagai santapan pagi itu dari pada nanti aku kelaparan sendiri.
Aku tidak suka suasana yang sepi. Aku iseng menghitung tukang pos yang lewat karena kebetulan kami makan di dekat kantor pos. Mungkin bagi mereka aku adalah makhluk yang malu-maluin atau kurang kerjaan, tapi aku tidak malu, aku hanya berusaha mencairkan suasana aja.
Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Aku menggandeng seorang teman lainnya, perempuan, namanya Ina. Jalanan sudah mulai ramai. Mobil-mobil berlalu lalang disana. Ina dan Agam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris dan aku pun mencoba ikut nimbrung di tengah-tengah mereka. Setelah hampir sampai di tempat tujuan yang sebenarnya, Agam melontarkan pertanyaan terhadapku “Kamu gimana ini? Mau kemana?”
“Udah gampang, ntar aja. Aku ngikut.” Jawabku
Akhirnya berhenti juga jalan kakinya, sudah sampai di Fakultas Sastra tempat dimana diadakan workshop.
“Kamu gimana? Mau jalan-jalan ke Mall dulu? Atau gimana?” tanya Ina
“Hah? Jalan-jalan? Aku kan gak tahu daerah sini.” Jawabku.
“Yach, you can call me anytime.”
Aku melihat ke arah Agam.
“Katanya janjian ketemu sama kakak sepupumu?” tanyanya.
“Iya, masih nanti siang. Jam segini mereka masih kerja.”
“Lha terus? Apa kamu mau ikut acara ini?” tanyanya lagi. Sepertinya dia mengharapkan jawaban ‘tidak’ dariku tapi aku malah memutuskan ikut acara mereka dengan mengeluarkan uang lima puluh ribu rupiah untuk mendaftar. Pengeluaran yang tak terencana tapi lumayanlah gak mahal-mahal amat. Dapat fasilitas buku dari pembicara, snack, makan siang, dan air mineral. Gak apa-apalah, dari pada I do nothing dan gak tahu harus ngapain.
“Gimana?” tanya Agam menoleh ke belakang. Aku sengaja mengambil tempat duduk di belakang Agam karena Ina sudah duduk disampingnya.
“Nanti kalau acaranya udah selesai aku di suruh menghubunginya lagi.”
Tema workshop hari itu adalah “Menulis Cerpen dan Novel”. Wah, pas banget nih, aku juga suka nulis. Dan emang benar, ternyata banyak hal yang sebelumnya tidak aku ketahui aku dapatkan. Terutama bagaimana cara menulis disaat pikiran kita lagi buntu dan yang terpenting adalah cara menumbuhkan semangat untuk menulis itu sendiri.
Aku memperhatikan Ina asyik ngajak ngobrol, cerita kesana-kemari dengan Agam. Aku bingung harus gimana. Aku menyibukkan diri lagi dengan sms teman-teman gilaku. aku bicara seperlunya aja ma Agam bahkan nunggu dia mengajakku bicara duluan atau aku bicara lewat sms karena aku tidak mau dianggap mengganggu mereka berdua yang lagi asyik ngobrol.
Acara diskusi sesi pertama selesai, waktunya menyantap jatah makan siang yang angat sederhana itu. Untuk yang kedua kalinya aku tidak selera makan, tapi apa boleh buat. Aku paksa makan paling tidak untuk mengganjal perutku karena aku tidak mau kelaparan di tempat yang cukup asing bagiku, apalagi aku juga buta tentang makanan apa yang enak di daerah situ yang bisa mengembalikan nafsu makanku. Kali ini aku tidak mau ambil resiko.
Setengah jam berlalu dan acara diskusi sesi kedua dilanjutkan. Pada sesi ini tidak banyak para partisipan yang bertanya. Mungkin karena sudah siang dan capai. Acara yang awalnya terjadwal dari jam 10 pagi dan diperkirakan selesai pada jam 1 siang ini molor satu jam. Dua menit sebelum para partisipan bubar, si pembawa acara mengumumkan bahwa sertifikat bisa langsung diambil pada panitia. Aku agak kaget juga karena memang tidak mengetahui sebelumnya akan dapat sertifikat juga. “Gak sia-sia aku ikut, ternyata ada sertifikatnya juga.” Kataku dalam hati dan tersenyum.
Aku melihat Agam mengantri di depan laptop berniat minta kopian data yang baru saja dipresentasikan oleh pembicara. Kasihan melihat si cowok kurus itu mengantri, apalagi pas jatah dia mengkopi ada kesalahan teknis pada laptopnya. Aku merasa sebel juga melihatnya dan yang aku tahu dia orang yang gampang sekali ngomel dan gak sabaran.
Aku langsung meraih HPku di dalam tas dan menelfon kakakku lagi.
“Ini dimana?” pertanyaan aku lontarkan pada Agam.
“Di Fakultas Sastra, Hayamwuruk.”
Lalu aku mengulanginya untuk memberitahukan kepada kakakku.
“Disuruh menunggu sebentar, nanti dia kemari.” Ucapku yang tidak jelas aku tujukan pada siapa tepatnya. Mereka berdua langsung mengambil tempat duduk yang berdampingan sedang aku harus duduk sendiri dan agak jauh dari mereka. Melihat mereka asyik ngobrol aku pun mendengarkan lagu-lagu yang sudah ada di my playlist di HPku dan bersms ria dengan teman-teman. Sampai akhirnya kakakku telfon dan memberitahu bahwa barang yang aku butuhkan belum selesai di instal.
Aku pun memutuskan untuk pulang saja. Dan fikiranku makin tambah ruwet. Sepanjang perjalanan aku jalan sendiri di belakang agak jauh dengan mereka. Aku menyadari bahwa aku gak mudeng dengan topik pembicaraan mereka. Ya sudah, aku menyibukkan diri lagi dengan sms dan telfon teman-teman gilaku, tepatnya agar aku merasa tidak sendirian. Lalu Agam menoleh ke belakang dan menawari untuk mampir ke masjid dulu dan aku hanya mengangguk sebagai tanda aku menyetujuinya. Di masjid itulah akhirnya tangisku pecah. Padahal sebenarnya aku ingin menahannya sampai rumah baru mau aku ledakkan, tapi ternyata air mataku tidak bisa diajak kompromi.
Aku bingung, jadi ikut pulang bareng mereka dan aku harus siap sakit hati atau aku tidur di tempat kakak? Aku mencoba menghubungi kakakku dan dia menyuruhku untuk menunggu di situ sampai jam 5 sore nanti baru dijemput, lalu aku melihat jam di HPku dan ternyata masih ada waktu satu setengah jam untuk menunggunya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja, disamping itu aku merasa gak enak ngrepotin kakakku.
Keluar dari masjid kami langsung dapat bus. Ups.... ternyata sudah penuh dan terpaksalah kami bertiga beridri. Sebenarnya masih ada satu tempat duduk tersisa di depan, mereka menawariku tapi aku menolaknya. “Kalau kalian berdiri ya berdiri semua.” Kataku dalam hati. Kami turun di stasiun untuk membeli karcis karena keesokan harinya Agam akan pergi ke Jakarta. Aku melihat si Ina nempel terus pada Agam. Aku memilih berdiri agak jauh dari mereka supaya mereka tidak merasa terganggu. Aku pun sibuk membaca pengumuman-pengumuman yang tertera di stasiun itu.
Setelah karcis sudah di dapat, kami pun menuju terminal berniat pulang. Sesampainya di terminal ternyata bus jurusan ke kota asal kami tidak ada. Dalam situasi yang membingungkan itu, aku berjalan mundur menghindari bus-bus yang sedang ngantri mencari penumpang dan ....
“aaaaaa.....................” aku menjerit. Spontan Agam langsung mengulurkan kedua tangannya dan menolongku yang hampir terjerembab masuk ke lembah hijau yang baunya tidak sedap itu alias got. Aku melihat Agam khawatir tapi juga ingin tertawa namun dia tahan melihatku yang masih merasa syok.
“Untung aja, gak sampai masuk. Memalukan!” Umpatku dalam hati.
Pas banget, pas haus, ada orang jualan buah-buahan. Hampir aja aku kepincut namun aku urungkan niatku membeli setelah aku perhatikan dengan seksama apa yang ada di samping si penjual. Iya, sampah-sampah yang menggunung membuat seleraku hilang. Aku hanya bisa menelan ludah. lama jugaa menunggu bus tidak ada yang muncul satupun, akhirnya kami memutuskan naik angkot dan menunggu bus di jalan depan. Aku memberitahukan hal itu kepada teman-teman gilaku dan walhasil mereka menertawakan aku dan kejadian yang menimpaku. Mungkin juga aku kualat sama kakakku karena di suruh tidur ditempatnya aku tidak mau.. bisa jadi begitu.
Lumayan lama pula hingga akhirnya dapat bus. Ternyata penuh sesak dan tak ada satu pun dari kami yang mendapatkan tempat duduk bahkan kami terpisah. Aku dan Ina berdiri di tengah-tengah penumpang di bagian tengah dan Agam di belakang. Kira-kira kurang dari 30 menit akan sampai di terminal aku baru dapat tempat duduk. “Duh, rasanya kakiku....” aku mengeluh dalm hati.setelah bus berhenti, Ina pun pamit pulang duluan sedang Agam masih menemaniku menunggu jemputan Duwik. Aku pun mengajak Agam makan dan lagi-lagi aku tidak nafsu makan.
Sekitar lima belas menit setelah kami selesai makan, Duwik muncul. Aku menyuruh Agam pulang duluan tapi....
“Mana helmku?” tanyaku pada Duwik
“Lho....?!” Duwik menjerit. Ekspresinya kaget melihat helmku tidak dia bawa. Padahal selesai ngajar di bimbel dia pulang ke kos berniat mengambil helmku lalu kembali menjemputku. Dan walhasil dia lupa membawakan aku helm. Dasar pelupa! Aku menelfon Agam yang masih di tempat parkir, mau pinjam helm. Lalu dia menghampiri kami. Dengan agak bingung Duwik memutuskan tidak jadi meminjam helm. Aku pun menyuruh Agam pulang. Dengan berbagai cara akhirnya aku memutuskan pinjam helm seorang teman yang rumahnya di dekat daerah situ. Dan kami bisa pulang ke kos dengan selamat.
Malam itulah awal pertengkaran dimulai. Aku sms Agam meminta maaf atas sikapku yang tidak seperti biasanya, yang cerewet dan ceplas ceplos. Dan aku juga menceritakan semua apa yang menyebabkannya. Kami salah paham. Aku mengeluh bahwa Agam nyuekin aku dan dia mengira aku menyibukkan diri dengan sms dan telfon teman-teman gilaku Iya, aku tahu aku yang salah dan aku meminta maaf padanya, namun tidak ada jawaban sama sekali.
Keesokan harinya aku mencoba menghubunginya lewat sms namun tidak ada respon. Aku juga menghubunginya melalui e-mailnya dan masih tidak ada respon. “Seberapa besarkah marahnya?” pikirku.
“Apakah kesalahanku yang belum bisa mengerti bagaimana dia sebenarnya tidak bisa dimaafkan?” tanyaku dalam hati. Aku tidak menyerah untuk menghubunginya bagaimanapun caranya agar dia bisa memaafkan aku.
Dan tepat satu minggu kemudian dia membalas semua pesanku. Dia mengutarakan kekecewaannya terhadapku dari awal dia mengenal aku sampai kejadian satu minggu lalu itu. Dia benar-benar sudah membenciku dan ilfil terhadapku. Namun, dia benar. Aku memang tidak dewasa, tidak bisa mandiri juga tidak peka terhadap lingkungan. Aku tidak pernah mengerti bagaimana dia namun sebaliknya, dia mengerti bagaimana aku.
Dan kenapa dia harus menyalah artikan kebaikanku dan niat tulusku selama ini? Apa harus aku jelaskan padanya satu persatu bahwa aku memberi ini karena ini, aku melakukan ini karena ini?? Aku menganggapnya sudah seperti saudara, seperti kakakku sendiri, teman terbaikku dan tempat curhatku. Apa aku salah jika aku memberinya hadiah sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kebaikan dia padaku selama dua tahun ini? Walaupun aku tahu dia tidak minta itu tapi aku juga makhluk yang tahu diri.
Bisa di bilang dia juga guru bagiku. Dia mengajarkan banyak hal padaku terutama untuk selalu berfikir positif terhadap orang lain atau segala peristiwa yang terjadi. Dia juga yang mengajariku agar jiwaku harus tetap hidup.
Haruskah suatu hubungan baik berakhir seperti ini?? Tidak adakah jalan untuk memperbaikinya?
Coba share cerpen nih...
jangan lupa like dan komen yaaa...
Marilah berkarya wahai jiwa muda generasi penerus bangsa, hee hee
 himaexa@gmail.com

CERPEN Di Antara yang Tersayang


By: be_imoet

Di minggu pertengahan bulan Maret 2015 tepatnya. Aku sedang berada di puncak kebimbangan menunggu sebuah kepastian dari penantian selama kurang lebih 8 bulan. Iya, selama 8 bulan itu aku berusaha menyembunyikan dan mengingkari adanya sepercik api yang mampu membakar seluruh tubuhku dan selalu mengganggu ketenangan batinku setelah hampir 2 tahun membeku.

Hingga aku tak menyadari dan tak menyangka akan jadi bahan gosip orang-orang di kampus. Kedekatanku dengan seorang cowok ternyata telah menyita sedikit perhatian para penghuni kampus, tak hanya mahasiswa bahkan dosen pun mengakui keberadaanku. Bagaimana tidak? Cowok yang pernah membuat aku merasa senang, sedih, kecewa bahkan marah ternyata orang yang cukup terkenal di fakultasku. Dia terkenal dengan sebutan ’cowok berhati batu’. Hampir semua orang mengenal dia adalah cowok yang anti cewek.

Sebagai pendatang baru aku tak mengerti mengapa sebutan itu begitu melekat pada dirinya. Sebut saja namanya Rizal. Dan di luar dugaan ternyata banyak juga orang yang membenci dia. Aku tak tahu jelasnya apa alasan mereka membenci Rizal Tiap kali aku adu argumen dengan teman-teman, mereka selalu aja berkata
”Iya ya, dia adalah segalanya buatmu. Puji dan bela aja terus... udahlah gak ada gunanya kita debat ma orang yang lagi jatuh cinta, susah!”


Di suatu sore...

”Makanya banyak-banyak membaca biar pinter. Wawasanmu sempit banget sih..!” itulah kalimat yang pertama kali meluncur dari mulut Rizal saat aku tanya tentang tugas Bahasa Inggris.
”Ihh.... Mentang-mentang pinter terus seenaknya aja ngomong ma orang. Pantes aja banyak yang benci ini cowok. Sombong!” kataku dalam hati dengan tetap bersabar mendengarkan ceramah Rizal yang tak mengenal arah itu.
”Udah paham?” tanya Rizal mengagetkanku.
”Udah. Thanks ya...” jawabku singkat sambil berdiri seraya mau melangkahkan kaki, Rizal memanggilku..
”Mau kemana?” tanyanya.
”Pulang.” aku memandang wajahnya yang tersenyum.
”Tumben senyum. Ada apa nih?” tanyaku dalam hati.
”Bentar. Eh kamu tahu gak lagu-lagu terbaru sekarang?” tanyanya.
”Enggak.” aku menjawabnya dan secara tidak langsung aku kembali duduk.
”Kalo lagu ini tahu nggak?” tanyanya lagi.
Aku mendengarkan dengan seksama lagu yang dia puter di Windows meadia player nya. Aku menggeleng. Lalu dia bilang
”Ini lagunya Romance, judulnya Ku Ingin Kamu.”
Aku menganggukan kepala seolah-olah ngerti lagu itu. Padahal dengar juga baru sekali ini.
”Kamu mau aku kasih lagu ini?” tanyanya tiba-tiba.
”Boleh..” jawabku sambil memberikan flashdisk biruku.

Sejak itu, hubunganku ma Rizal makin deket. Hampir tiap hari kita ketemu dan ngobrol. Entah ngobrolin apa aja, yang pasti selalu ada topik diskusi. Aku mulai mengenal satu per satu temen Rizal. Salah satunya adalah Rifky. Rifky itu cowok yang sangat sangat digandrungi oleh para mahasiswi. Mungkin malah ada fans club Rifky kali. Aku tak tahu. Orang yang bisa di bilang masuk kategori cakep, apalagi dia jenius. Siapa sih yang gak mau deket ma dia? Sayangnya dia itu biang gosip. Parahnya lagi aku adalah salah satu patner dia dalam urusan gosip menggosip tentunya. Hahaha...
”Fir, ayo ikut aku. Ada yang pingin aku omongin.” ajak Rizal tiba-tiba saat dia lewat di depanku. Aku yang lagi asyik ngobrol ma Via langsung secepat kilat mengikuti Rizal masuk sebuah ruangan yang lumayan kecil dan adem itu.

Aku membuka pintu berniat mengeluarkan diri dari komunitas cowok pinter yang ada di ruangan itu, lalu
”Firaa, kemana aja sih? Aku cariin dari tadi.” ucap Rizal.
”Gak kebalik tuh? Aku dari tadi ada di sini kok.” jawabku.
Bukannya dari tadi dia nyuekin aku? Dia nongkrong gitu aja diskusi ma temen-temannya. Entah lupa kalo ada aku atau sengaja, aku tak tahu.
”Nah, makanya jangan pergi dong Fira. Biar gak dicariin.” Rifky ikut-ikutan. Seoalh-olah emang aku yang salah, padahal dari tadi aku berdiam diri di deket kerumunan cowok-cowok pinter itu.

Semua langsung tertawa dengan kompaknya. Mungkin kalo ikut lomba paduan suara komunitas kecil mereka bisa jadi juara tuh. Wah, ini membuat aku merasa seperti seorang terpidana yang akan di eksekusi. Rizal mengajakku pindah ruangan. Saat dia lagi curhat, Rifky dkk datang dengan rame-nya. Topik diskusi pun berubah. Rifky si jenius cerita tentang pengalaman dia waktu ke Jogja. Dia bertemu dengan seorang ibu yang lagi hamil saat dia naik bis. Kebetulan tempat duduk mereka bersebelahan. Eh ibu hamil itu bilang
”Nak, kamu itu ganteng ya..”Rifky senyum tersipu malu mendengar pujian ibu itu.
”Mau nggak kamu jadi menantu ibu?” tambah ibu itu yang melihat Rifky tak ada komentar.
”Emm...”
”Ya, biar ibu punya anak yang ganteng.” tambah ibu itu lagi
”Lho, kok gitu kenapa bu?” tanya Rifky.
”Iya, anak ibu kan cewek semua jadi gak ada yang ganteng. Yang masih di dalam aja diramalkan akan keluar sebagai cewek lagi.” Ucap ibu itu sambil mengelus perutnya yang buncit.
Rifky tersenyum kecut.
”Oh, kirain bapaknya yang jelek.” komentar Rifk dalam hati.
Dengan semangat 2015 Rifky masih asyik melanjutkan ceritanya. Dan aku baru sadar bahwa sedari tadi ada banyak pasang mata yang memperhatikan ulahku.
”Mbak, bisa bicara bentar?” tanya seorang mahasiswi berjilbab saat mendapati aku keluar ruangan.
”Iya, ada apa?” tanyaku heran. Aku tak kenal dia bahkan teman-teman yang ada di sampingnya.
”Kamu kok bisa akrab gitu sih ma geng-nya Rizal?” tanya cewek itu.
Waduh, ada apa nih? Kok mendadak aku jadi di interview gini sih.. Aku tak menjawab.
”Secara gitu lho, kamu kan orang baru di sini. Kok bisa sedeket itu ma Rizal?” tanya dia.
Hah?! Apa nih maksudnya? Aku memutar otak mencoba mencari jawaban yang tepat. Sebelum aku sempat menjawab itu cewek berkata..
”Selamat ya mbak..”
Dia menjabat tanganku. Aku masih aja bengong. Ternyata cewek yang berjilbab tadi namanya Rifa. Aku mendengar ada orang yang memanggil nama itu, lalu dia yang merespon.

Aku menikmati semua yang telah terjadi. Hingga aku terlibat percakapan dengan seorang cowok imut. Dia juga merupakan komunitas Rizal tapi gak begitu ngorbit seperti Rizal dan Rifky. Namanya Kurnia. Usut punya usut ternyata aku dan Kurnia sepantaran dan atas persetujuan dia akhirnya aku manggil dia ”Bro”.

Tak di sangka dan tak di duga itu adalah awal renggangnya hubunganku ma Rizal.
”Ehm.. ehm... wuei... ce ile...” ucap segerombolan cowok yang lewat. Aku dan Kurnia yang sedang duduk santai di pojok sebuah ruangan cuma nyengir. Di samping itu ada juga sekelompok cewek yang melihat sinis ke arah kami. Aku baru menyadari kalo ternyata banyak juga cewek yang ngefans ma Kurnia.
”Eh, ternyata bro banyak yang ngefans ya?” tanyanku menggoda.
Kurnia tersenyum dengan manisnya.
”Nggak kalah dengan Rifky dan Rizal kan? Walo gak sebanyak fans mereka.” lalu mencibir.
Aku dan dia tertawa bebarengan. Tiba-tiba….

”O..o… kamu ketahuan?!” Nyanyian Rifky mengagetkan kami berdua. Ternyata acara nobar filmnya sudah usai.
Waktu aku dan Kurnia menoleh, Rizal langsung buang muka.
”Jadi selama ini?” ejek Rifky.
”It does not like what you see!” jawab Kurnia ketus. Rizal masih memandangi langit-langit putih ruangan itu. Sedang aku hanya senyum. Rifky melangkahkan kaki keluar ruangan. Rizal pun ikut berjalan, namun arah Rizal berbalikan dengan Rifky. Menyadari hal itu Rizal pun bergegas balik arah.
”Eh gimana?” tanyaku setelah jejak mereka hilang dari hadapan kami.
”Ihh… Kelihatan banget gitu kok kalo Rizal ada rasa ma kamu. Mukanya masam semasam jeruk nipis.” lalu kita tertawa ngakak.
”Iya bro bisa bilang gitu tapi sayang dia gak ngasih aku kepastian.” ucapku.

Satu minggu kemudian, waktu aku dan Kurnia bertemu, Rizal langsung menghampiri kami.
”Mulai hari ini kalian saya restui.”
Aku dan Kurnia berpandangan. Walo tanpa sepatah katapun kami saling tahu bahwa kami sama-sama tak mengerti maksud ucapan Rizal.
Rizal berdiri di tengah-tengah kami yang lagi duduk.
”I pronounce you to be a husband and wife.” Lanjut Rizal. Aku dan Kurnia semakin tak mengerti.
“What did you say?! You don’t have right to say like that!. You are neither her relative nor the chief!” Kurnia menimpali dengan ketusnya.
Perlahan-lahan Rizal menghilang dari pandangan kami. Aku dan Kurnia saling pandang dan tersenyum kecut. Kali ini senyumanku tak serasa jeruk nipis saja, namun senyuman dengan resep asem+jeruk nipis+cuka di campur jadi satu. Sepertinya Kurnia tahu betapa perihnya batinku.
Kurnia mengajakku pergi dari tempat itu.

Aku sudah membulatkan tekad untuk bertanya pada Rizal, bagaimana perasaan dia terhadapku. Dan bodohnya, aku bertanya lewat telepon. Jadi aku gak tahu dan gak pernah lihat ekspresi wajah Rizal. Dia menjawab pertanyaanku dengan nada yang tegas. ”Hubungan kita hanya sebagai senior dan junior. Kita teman!”
Pingin rasanya aku nangis seketika. Rizal melanjutkan.
”Kemarin Kurnia juga udah tanya ke aku. Ya jawabanku sama dan masih tetap. Kalo misalnya besok-besok ada yang melamar kamu ya gak pa-pa. Aku gak masalah. Eh iya, kenapa kamu gak jadian ma Kurnia aja?”
”Aku sama bro, maksudku Kurnia gak ada apa-apa. Aku menganggap dia udah seperti kakakku sendiri. Dia adalah teman curhatku.” aku kebingungan mau menjawab gimana.
”Eh, eh kalo mang kamu dan Kurnia ada apa-apa juga gak pa-pa kok.” ucapnya lagi sambil tersenyum.
Aku merasa bosan dia berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Akhirnya aku mnyudahi ketololanku itu.
Lima detik kemudian aku menghubungi Kurnia, konfirmasi kenapa dia tidak cerita padaku kalo dia telah tanya ke Rizal. Kurnia menceritakan semua dan dia minta maaf karena tidak langsung menghubungiku saat itu.

Lilin yang tadinya berdiri dengan tegaknya pun meleleh. Air mataku pun tak mau kalah bersaing, dia terus mengalir membanjiri pipiku. Dan aku tak tahu bagaimana kelanjutan kejadian itu hingga aku terbangun di pagi harinya.
Waktu Ujian Tengah Semester aku merasa bahwa sikap Kurnia berubah padaku. Tiap kali aku berusaha ngajak ngobrol dia di kampus, dia hanya bilang ”Sorry, someone is waiting for me.”
Aku pun memutuskan tanya sama dia lewat sms karena aku telfon tidak di angkat.
”Sorry. Kamu perlu tau bahwa sekarang aku lagi dekat sama seseorang. Aku tak ingin dia salah paham dan aku ingin menjaga perasaannya. Kita masih tetap berteman.”
Seketika air mataku pun keluar perlahan-lahan. Aku merasa hampa. Kini aku kehilangan dua orang yang aku sayangi. Sejak itu aku tak lagi menghubungi Kurnia. Semua teman dekatku pun membenci mereka berdua.
”Udahlah Fir, anggap aja kamu tak pernah kenal dengan mereka.” ucap Erika.
”Itu artinya mereka tak layak dekat denganmu karena kamu terlalu baik untuk mereka.” lanjut Rifa.
”Jangan down. Harus tetap semangat dong?! Kamu masih punya kita.” tambah Via.
”Mana Fira yang ceria, ramah dan selalu membuat orang tertawa itu?” ucap April tak mau kalah berargumen.
Karena merekalah aku hampir aja lupa dengan sakit hatiku dan aku mulai semangat lagi melanjutkan perjuangan hidup, tiba-tiba...

Aku melongo melihat seorang cewek yang lagi jalan ma Rizal. Ternyata dia adalah Tyas. Tyas orang yang pernah lumayan dekat denganku.
”Nggak ada cewek lain apa?” ujar teman-temanku dengan sewotnya.
Aku hanya tesenyum sinis.
”Pingin banget aku hadang Rizal lalu aku tonjok dia!” ucapan Via mengagetkan kami. Setahu kami Via adalah orang yang gak bisa marah. Erika, Rifa, juga April masih sibuk berargumen.
”Gimana kabar hatimu sekarang non?” tanya Rifky di smsnya.
Rifky adalah orang yang tak punya masalah denganku dan dia tahu semua perkembanganku. Aku menoleh, ternyata ada Rifky di belakang yang sedari tadi memperhatikanku. Kami pun tersenyum.
”Tabahkan hatimu ya non..” lanjut smsnya.

Ternyata dalam satu bulan aku harus kehilangan dua orang yang aku sayang sekaligus. Betapa pedih dan rapuhnya hatiku menerima kenyataan hingga aku merasa enggan membuka hatiku untuk orang lain.

Special for someone who ever fill my heart every time and someone who want I call bro, I love till the end of the world.


Untuk nama-nama yang tertulis, maaf ya gak izin dulu sama kalian.. hehe
mari berkreasi wahai jiwa muda penerus bangsa...
jangan lupa like & komen yaaa
 himaexa@gmail.com

SANG MANDOR


Oleh Sholikul Huda

            Sinar kehidupan merayap diantara sela-sela jendela batu, disebuah lorong, deretan ruang. Disana kami menggali dan disana pula kami dikubur. Disana kami menyelam dan disana pula kami di tengelamkan. Ya … disana tambang dan samudra kami.
Sang mandor datang, kami diam. Ia mulai menggerakan cangkul kami, memasang tabung selam kami, membiarkan kami menggali tambang ilmunya, membiarkan kami menyelami samudra kata mutiaranya.
Keberuntungan bukan hal tabu, akan halnya penambang emas, tak semua mendapat emas, walaupun kami sama-sama mengali dan sama-sama yakin akan adanya emas ditempat itu, akan halnya hokum alam semua kembali kekeberuntungan.
Tatkala kami sedang dalam-dalamnya menggali, serta dalam-dalamnya menyelam seketika mandor kami diam seakan berkata “Berhenti”, cangkul kami berhenti menyayat tanah, kami kembali kedaratan, menatapnya tajam seakan ingin berkata “ada apa?, kenapa berhenti?”
“iinna khoiril kalam ma qola wadul” katanya, berwibawa.
Mata kami tak henti menatapnya pikiran kami siap menerima kata-kata selanjutnya darinya.
“sebaik –baik perkataan adalah yang singkat tapi memahamkan, reti maksutte??”kata mandor usia 79 tahun itu.
 “mboten….!!” jawab kami serentak.
“wong kuwi akeh omonge sitek manfaate, duwor bahasane neng ora mahamke, dadi nyusahke muritte, muret iku butoh ngelmu kang gampang den amal no”
Kami masih diam, sebagian masih bertanya-tanya, sebagian menganguk paham, aku sendiri masih bertanya-tanya. Seakan tau pikiran kami, sang mandor kembali bertuah.
“dadi guru iku angel, aku kuwi during iso, aku njaluk ngapuro reng kuwe-kuwe…!” ia menyudahi tuahnya.
           Semua terbelalak, berkerut kening, dalam benak kami penuh dengan pertanyaan “kenapa meminta maaf..?” “apakah sebesar itu salah seorang mandor pada pegawainya hingga harus meminta maaf lebih dulu..?” “bukankah tidak etis hal tersebut..?”
.           Belum jua semua pertanyaan itu terjawab, terdengar “wassalamu’alaikum wr wb”. Serentak kami hilangkan segala peluhtanya kami simpan bersegera beranjak dari tempat duduk, menjabat tangan mandor kami itu sembari menciumnya ngalap berkah.
Jam demi jam penggalian dan penyelaman kami lakukan, entah menggapa petuah mandor di jam pertama masih membayang, hingga jam pencarian kami selesai, memang tak ada yang membahasnya tapi terlihat mereka memikirkannya.
Tak hanya di tambang itu, di rumah peraduan, pikiranku masih tak henti bergejolak ketidak riskan nan akan hal itu. Batinku tak mau terima melakukan perdebatan sengit yang mangoyak jiwa, “seumur-umur baru kali ini” gumamku……..ah ya sudahlah…
Sinar kehidupan kembali bergejolak, berulang kali penyelaman kami lakukan, berulang kali kami menyayat tanah, berulang kali pula para mandor bergantian keruang kami. “mbah hamid sakit” kata mandor terakhir di ruang kami itu. Entah petir mana yang menyambar kami, entah angin mana pula yang menyeruak tubuh kami. Serentak ruang menjadi sunyi. Tubuh kami tergolek lemas semangat kami sirna. Tertutup rasa takut, khawatir, bagai anak burung yang jatuh dari sarangnya. Entah mau kemana?, entah mau apa?,.­
Memang hamper tak pernah terdengar mandor kami itu sakit, walaupun batangan rokok yang diangap penyebab banyak penyakit tak pernah lepas dari japitan jari tangannya.
Sang mandor terbaik jatuh sakit, mandor karis matik, mandor sepuh yang setiap orang berebut jabat tangan darinya. Serta tentunya seorang yang mampu memahami kami. Sebegitu luar biasa ketawadu’an hingga berani bertuah bahwa ia belum bias menjadi mandor yang baik dengan segala pengalaman yang hamper meraup seluruh hidupnya, ketawadu’an yang mampu memendam pangkat kesombongannya.
Selayaknya seorang pegawai yang sangat dekat dengan sang mandor kudatangi kediamannya. Rumah mungil itu di penuhi tamu-tamu yang ikut prihatin. Di atas ranjang itu ia terbaring, sekelilingnya ranjang itu tertunduk lesu beberapa kerabat serta anak istrinya. Aku dekati ia, menjabat tangan lemasnya, mencium tangan itu…
“assalamu’alaikum, kataku lirih.  “wa’alaikumsalam gus”  jawabnya, mata sayunya menatapku.
“pripun yai, sampun sae??”.  “alhamdulillah”
Setelah berbincang beberapa saat, menikmati suguhan dari istrinya, aku pun berpamitan. “iki ono surat, amalno yo gus, katanya sebelum aku keluar dari kamarnya, aku hanya membalas dengan senyum, sebenarnya ingin Tanya tetang surat itu, ia lebih dulu berkata untuk tidak membuka sebelum tanggal 10 (1minggu dari sekarang) selain itu melihat keadaannya tak tega rasanya .
Lima hari dari hari itu kabar wafatnya sang mandor telah menyebar cepat. Bakwabah penyakit semua  berduka, tidak hanya kami tapi juga puluhan ribu umat yang mengenalnya. Tamu mulai berdatangan luar biasa banyak, ratusan kendaraan besi berjejer rapi di pinggir di berbagai penjuru jalan. Mereka membawa raut kesedihan, akan halnya mereka aku pun hamper tak berdaya tak percaya “serasa baru kemarin”.
Air mata kami pendam, mencoba lebih tegar. Siang malam berganti menemani kesedihan kami, alunan tahlil serta ayat suci al-qur’an tak henti menggisi kesunyian malam di kediamannya. Disebuah sudut rumah itu aku menyendiri mulai lantunkan ayat-ayat suci tubuhku serasa ringan hamper tak sadar masuk kedalam alam bawah dasar…….”surat itu”…… aku bangkit dan segera pulang, diatas ranjang, kubuka surat itu “ilmu allah  adalah cahaya, dan cahaya allah itu letaknya di hati, kalau menggajar gunakanlah hatimu” begitulah kiranya arti surat tertulis dari bahasa arab itu.

“sampai sekarang surat itu masih saya simpan, saya jadikan landasan belajar dan menggajar saya”, begitulah caraku mengakhiri cerita, didepan puluhan calon mandor di jam pertama di sebuah ruang kuliah,,.
 himaexa@gmail.com

Simple live (cerpen)


Lelaki itu mulai mengibaskan kembali kipasnya; menjaga bara api tetap memerah; tumpukan jagung dalam karung masih belum berkurang dan beberapa jagung yang sudah di bakar. Bayang-bayang pohon dibelakangnya sudah mulai memanjang melebihi bayangan tubuh rentanya-jam dinding disebuah conter kecil sebelah kanan jalan , mengabarkan bahwa waktu beranjak senja. 13.30 . tujuh jam lebih semenjak lelaki paruh baya itu meninggalkan pintu rumahnya. Sudah sesiang ini  tak satupun jagungnya yang terjual. Meskipun Jalanan di depanya tak kunjung reda; ia sesekali meneriakan “jagung-jagungnya buk…… pak……”
Tak satupun pengendara yang sekedar menoleh dagangnya. Tak seorang pun yang berhenti menghampirinya. Apa lagi menanyakan harganya atu memesan racikan jagung bakarnya.
Sementara detik-detik terus saja berguguran bersama dengan kibasan kipas yang bolak-balik; kekanan-kekiri, lelaki paruh baya itu mulai merasakan lapar yang melilit di perutnya. Ia pun menghentikan kibasan kipasnya sejenak ,dan mengambil satu jagung daganganya untuk mengganjal perutnya. Suara adzan di sebuah masjid terdengar keras dari belakang tubuhnya terduduk menunggu rezeqi datang. Ia pun meninggalkan harta penghidupannya dan berajak melangkahkan kaki rentanya ke rumah suci;tanpa takut ataupun cemas; ia hanya percaya“ kalau emang rezeqi ya… nggak kemana-mana” sebuah intuisi dari kalimat dalam Koran yang nggak sengaja terbang kearahnya.
Plak…..plak….plak, suara sandal buntut ; lelaki paruh baya itu melangkah menuju masjid tepat dibelakangnya. Beberapa menit pun  telah penuh dengan aktifitas agamisnya. Kini, lelaki paruh baya itu sudah kembali ke tempatnya semula; ia mulai mengibaskan kipasnya lagi dan lagi;matanya tertuju tajam pada jagung dagangannya, sambil membolak-balikannya.
v      
Senja pun tiba, sepeser pun tak kunjung menghampiri si lelaki itu. “mbah pripun jagunge mpun laku..? suara penjual mainan ,menghampiri. “urung nang,  ki malah durung kalong blas” jawab si lelaki. “nak, ngoten, tumbas kaleh mbah ! lumayan,  kangge istri kula sing nembe nyidam”. Si lelaki pun tersenyum ; menerawang kedalam wajah cucu semata wayangnya ,di gubuk peyotnya. “niki nang jagunge…” menyodorkan pesanan ke penjual mainan. “ ngapuntenne mbah, kula supe malah dagangan kula dereng laku, napa? Kula mbayare ngangge dagangan kula mawon..?” tawar si penjual. “ ya, rak popo nang, mbah kan duwe putu lanang siji, iku enak e di ke’i dolanan apa?” . “ montor-montoran mawon mbah” sahut cepat si penjual. “ ya nang, montor-montoran wae lah ” lelaki paruh baya itu setuju, sambil menerima sebuah mainan motor-motoran itu.
Hari semakin gelap si lelaki paruh baya itu pun, memutuskan untuk pulang. Tak sabar melihat cucunya di rumah. Tak butuh waktu lama berjalan,akhirnya si lelaki pun sampai di depan pintu rumahnya . “asslamu’alaikum” . “ wa’alaikum salam “ . “eh, aki dah pulang, pripun ki..” sambil menggendong radit; cucu semata wayangnya yang sudah di tinggalkan kedua orangnya sejak umur 8 bulan. Si lelaki pun hanya diam sambil mengatungkan mainan yang di perolehnya kepada si cucu. Si cucu radit pun tersenyum bahagia sambil berkata “ matur nuwun aki” . si istri lelaki itu pun ikut tersenyum. Ruang langit telah penuh dengan tebaran bintang-bintang di angkasa, dan pancaran kebahagiaan memancar keluar dari gubuk peyot dan semakin terang dengan suara tawa radit yang kegirangan. -
 himaexa@gmail.com

cerpen "MENCOPET SURGA"


 oleh s. anam
            “Copet….. Copet….”
Ya,, kata itulah yang sering aku dengar sambil berlari sekuat tenaga dalam pengejaran warga dengan sesekali menghela nafas. Sebuah rutinitas olahraga  berkeringat dosa yang membosankan serta suatu realita kehidupanku yang berlangsung setiap hari.
Dengan selingan suara pengejaran “Awas kau !! jika sampai tertangkap..” dengan membentak aku terus melesat bagaikan mobil balap yang ingin memenangkan perlombaan. Sambil tersenyum bangga ketika tak ada orang yang mengejarku bak seorang pemenang perlombaan bahkan olimpiade balap sedunia.
Bagaimana tidak?? Jika tidak ketangkap, uang atau makanan yang ku dapatkan, dan jika tertangkap babak belur lah yang aku makan atau sekedar numpang makan di jeruji besi.
Berawal dari pertemanan dengan anak jalanan yang berprofesi sama sepertiku saat ini,dengan sebuah ekspedisi berdosa yang ku lakukakan. Mulanya hanya spekulasi ku belakatapi apalah daya aku mulai ketagihan, sampai saat ini. walaupun akhir2nya jeruji besi lah yang menjadi peraduanku.rumah keduaku.
***
Haripun berguguran, seperti biasanya aku melesat,menyisip di antara manusia yang sedang berbelanja di pasar. Dengan pakaian rapi bak orang kantoran , maklumlah di zaman yang modern ini pencopet seperti ku ini juga harus modernisasi sesuai perkembangan zaman. Biasanya kami terkenal dengan baju yang bagaikan kekurangan kain hingga salah satu dari mereka berteriak ‘Copeett,,Copeett’ !!
Aku pun mulai mencari mangsa sampai akhirnya ,terlihatseorang kakek-kakek yang masih terlihat segar dengan pakaian kantornya, bermata focus. Dengan gerakan kaki yang terlatih aku pun mulai mendekatinya, akupunmulai melancarkan tanganku ke saku belakang yang kulihat . saku belakangnya. sebuah  dompet yang menjorok keluar . melewati celah-celah lautan manusia yang menghalangiku.
Dengan sigap aku mengambilnya.Dengan perlahan. Ku langkahkan kaki ini keluar dari lautan manusia di tempat itu. Sampai akhirnya aku berhasil masuk ke sebuah rumah kosong yang ku yakini tak ada seorang pun yang menyangka, ada seseorang yang ada di dalamnya.
“aman…aman” batinku , ku buka dompet hasil kerjaku , dengan mimik yang mengharapkan adanya uang di dalamnya.Tapi….. alangkah sialnya, “kosong”.hanya kartu-kartu tak berguna yang kudapatkan. Belum sempat tangan ini melempar dompet tak beguna itu ,tiba-tiba terdengar suara “ Assalamu’alaikum Mas.. sudah selesai? Kalau sudah selesai tolong kembalikan!”. Perasaan keingintahuan menyelimutiku,badan langssung aku balik . sungguh kaget ternyata yang ku lihat seorang kakekkorban copetku.
***
Aku pun langsung termenung karena kejadian aneh ini, berbagai pertanyaan muncul ; Bagaimana  kakek itu tau kalau aku ada di sini atau bagaimana ia tau kalau aku yang mencuri dompetnya padahal ia tak melihatku. Lagipula kalau ia melihatku bagaimana ia tau aku di sini??
Belum sempat aku tersadar dari renungan ini, kakek itu mengulangi pertanyaannya lagi  dan lagi. dompet yang ku genggam lepas dari tangan ini, tergeletak di lantai. Karena melihat dompetnya tergeletak di lantai ia pun langsung mengambilnya dan mengucapkan salam perpisahan. “Assalamu’alaikum Mas” sambil melangkah keluar . Belum jauh di pandangan kakek itu,akhirnya aku tersadar “Kek,dalem e pundi??” sebuah kalimat keluar dari mulutku.  “ Sak wetane pasar mas” jawabnya, berhenti melangkah.
Dengan perasaan yang mengganggu ini , mulai kutapakkan kakiini menuju sebuah tempat yang di tunjukkan kakek itu.
***
terik matahari mulai menembus kepalaku,  menuntunku ke tempat itu. Tidak begitu lama berjalan, aku berhenti di sebuah masjid sederhana,yang ku rasa… ini tempat yang di maksud kakek itu. Karena lelah berjalan,aku regankan otot-otot kaki dan merebahkan tubuh penuh dosa ini di tempat suci ini, tanpa sengaja aku tertidur sampai tiba waktu sholat Maghrib. Aku terbangun dengan seorang kakek-kakek yang membantuku duduk, ternyatasi kakek. Ia pun bertanya padaku.. “Mas, sudah lama di sini??” “iya kek ,tadi siang aku datang kemari mencari kakek, tapi entah kenapa aku mengantuk dan tidur di sini” ujarku. Sambil kebingungan. Si Kakek pun bertanya lagi “Oooh,, lalu  apa yang membawa mas kesini”. Aku pun kembali membalas “Saya ingin cerita mengenai pekerjaan ini, skalian mau minta nasehat dari kakek . karena hanya kakek yang saya rasa dapat membantu mencari solusinya”belum sempat aku menghela nafas. “Insya Allah Mas” gumamnya.
Mulai dari kuceritakan perasaan-perasaanyang menggangguku, setiap kali menikmati hasil rutinitas dosa ini . berbagai solusi dan nasehat pun di lantunkannya kepadaku.
Kini semua rutinitas dosa itu telah berakhir, setelah pertemuan yang tidak di sengaja itu..  berbalik 80 derajat. aku yang sekarang hanyalah seorang marbot masjid yang hanya bergelantungan dibawah tangan sang pencipta.­_taqarrub illallah.
***
 himaexa@gmail.com

Cerbung 7 KEAJAIBAN DUNIA


Malam minggu…
            Tumpukan lembaran kertas hasil olah pikir anak-anak memadati sudut-sudut meja ini. Ku pandangi. Tangan ini pun mulai menjangkau satu per satu lembaran-lembaran itu, dengan santai aku mulai membaca,mengoreksi kerjaan mereka dari sebuah pertanyaan “Tuliskan  7 keajaiban dunia yang anak-anak ketahui” yang aku berikan sebelum mereka pulang. Banyak dari mereka yang dapat menjawab dengan benar. Colosseum di Roma ,Ka’bah di Makkah, Menara Pissa di Italia, Menara Eiffel di Prancis, Candi Borobudur di Indonesia, Tembok Besar China,dan Piramida di Mesir. Walaupun ada juga yang menjawabnya hanya 2 jawaban.
            Sembari tersenyum, aku sabar memberikan nilai. Walau sebenarnya cukup sulit untuk membaca tulisan-tulisan mereka, satu per satu lembaran selesai ku nilai sampai akhirnya di lembaran kertas terakhir, semua pergerakan aktifitas tubuhku berhenti seketika. Sambil mengingat……………….
***
            Jarum jam berputar cepat membelakangi angka 12. Pukul 11.30 WIB masa itu, masa sebelum aku termenung tak berkutik dengan sebuah lembaran terakhirku. Anak-anak berlarian, kejar-kejaran, kesana kemari dengan tawa yang lepas. Kulihat dari kejauhan. sembari berjalan menuju sebuah ruang kelas sekolah dasar, yang ku jadikan tempat membagikan ilmu,yang ku dapat dengan susah payah dan penuh pengorbanan. Kelas 3 SD, tempat anak-anak berlarian itu berasal.
            Di depan pintu kelas anak-anak itu berlarian masuk kelas karena melihat ku berjalan menuju ruang kelas mereka. Braaak……!!! Braaaak……!!! Suara tabrakan terjadi dari berbagai penjuru arah. Belakang. Samping dan depan. Berbenturan dengan kaki ku. meskipun merasa sakit ,mereka masih sempat tertawa sambil mendongakkan kepala ke atas. Kearah ku. Setelah menabrak ku. aku pun hanya bisa membalasnya dengan senyuman yang terselip di bibir ini yang selalu mengoceh hampir setiap hari.
***
            Kelas ku mulai. Anak-anak pun mengeluarkan sebuah buku pelajaran. Hari ini, materi “Ilmu Pengetahuan Sosial”,mata pelajaran yang akan ku ajarkan.
“Selamat Pagi anak-anak…..” sapaku pada mereka. “Selamat Pagi juga Pak….”. jawab mereka serentak.
“Anak-anak, hari ini Bapak akan menjelaskan mengenai 7 Keajaiban…………….” Belum selesai aku berbicara tiba-tiba terdengar  suara “ seperti pak tarno pak ? yang bim salabim …” lagaknya yang ingin tahu dari arah pojokan kelas. “haha..” suara tertawa seketika itu. “……bukan yang itu. Tetapi  yang akan bapak jelaskan, 7 keajaiban di dunia, contohnya : Candi Borobudur di Negara kita” lanjutku. “oh,, yang itu” salah satu anak palig depan belagak tahu. “Dan apa lagi contoh yang lain Pak ?” keingintahuan mereka muncul. Aku pun menjelaskannya dengan panjang lebar,sembari menuliskan beberapa nama yang menjadi bagian dari 7 keajaiban dunia di atas papan tulis hitam ini.
            Waktu pun berjalan dengan cepat,hingga pada akhirnya 15 menit sebelum bel pulang bordering aku memberikan sebuah soal “Tuliskan 7 Keajaiban Dunia yang nak-anak ketahui “.
Sepuluh menit mendekati bel  pulang, anak-anak berlarian untuk mengumpulkan jawaban di lembaran kertas secara bergantuan meskipun tidak teratur.  “Jawabannya sudah di kumpulkan semua?”tanyaku kepada mereka. “Sudah pak..” serentak mereka menjawab nya kecuali seorang anak di bangku belakang. Namun tak lama kemudian,aku mendengar suara isakan tangis … “Huhuhu, be..be..lum pak.. anak itu “pun berbicara.
Kring..Kring..Kring… Lonceng tanda berakhirnya pelajaran usai pun berdenting.. “anak-anak sekarang boleh pulang dan jangan lupa belajar. Untuk Nak Adit di selesaikan dahulu jawabannya. Nanti bapak temanin. Nggak usah nangis lagi ” lanjutku sambil tersenyum.
“Assalamu’alaikum”.. “Wa’alaikumsalam”. Semua berhamburan keluar kelas kecuali Adit.
            Adit, anak pemalu di kelas dan jarang bergaul dengan teman sebayanya. “belum selesai, Nak Adit?” tanyaku. “Belum pak… Soalnya tadi ketiduran,jadi saya tidak mencatat apa yang bapak tuliskan didepan” terangnya sambil terisak menangis_akupun kembali di tempat duduk ku. Merapikan buku-buku dan lembar jawaban anak-anak. Tangan mungil Adit menyodorkan jawabannya sambil berkata “Taruh Paling belakang saja Pak.”aku pun mengangguk. Ia pun berlari riang seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Dasar anak-anak” dalam hati. Mulutku bersimpul senyum.
***
            Jarum jam berputar ke arah semula menunjuk angka 20.00 WIB tepat. Bertepatan dengan lembaran terakhir yang membuatku termenung , sambil mengadahkan tangan ke sang pencipta.


“7 Keajaiban Dunia”
  ü  Bisa Melihat
  ü  Bisa Merasakan
  ü  Bisa Mendengar
  ü  Bisa Berbicara
  ü  Bisa Berjalan
  ü  Bisa Mencium
  ü  Bisa Bernafas

  ü  Bisa Berpikir
himaexa@gmail.com

Atur acara api unggun

                      Ditengah keheningan malam.......... bersana bulan dan bintang yang bertaburam............ bersama pula alunan san...