Ali Ma’shum
Kiai
Ali lahir pada 15 Maret 1915 di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia putra
Kiai Ma`shum, pemimpin Pesantren Al-Hidayah, Soditan, Lasem Rembang,
Jawa Tengah.
Ketika
usianya menginjak 12 tahun, Ali dikirim ke Pesantren Termas, Pacitan,
Jawa Timur, pesantren terbesar dan termasyhur kala itu selain Tebuireng,
Jombang, dan Lasem sendiri. Di Termas ia berguru kepada Syaikh Dimyathi
At-Tarmasi, adik Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, ulama besar Nusantara yang
mengajar di Masjidil Haram.
Sebagai
putra kiai kondang, sejak kecil Ali telah digembleng dengan dasar-dasar
ilmu agama. Sehingga, ketika delapan tahun belajar di Termas, ia sama
sekali tak menemukan kesulitan. Ia mendapat perhatian istimewa dari
Syaikh Dimyathi. Sejak awal mondok, Ali diizinkan gurunya mengikuti
pengajian bandongan, yang biasanya hanya diikuti santri-santri senior.
Bahkan ia dibiarkan membaca kitab-kitab karya ulama pembaharu, yang
tidak lazim dipelajari di pesantren salaf. Syaikh Dimyathi menilai, Ali
Ma’shum sudah memiliki dasar keilmuan yang cukup kuat, sehingga
bacaan-bacaan itu tidak akan mempengaruhinya, bahkan justru akan
memperluas pandangannya.
Segala kelebihan Ali Ma’shum itu tidak terlepas dari kepandaiannya dalam ilmu bahasa Arab, yang di atas rata-rata.
Sekembali
dari Termas, Ali membantu ayahnya mengasuh pesantren mereka di Lasem.
Tak lama kemudian ia dinikahkan dengan Hasyimah binti Munawir, putri
pemimpin Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebulan setelah pernikahan, ia
pergi haji. Selain berhaji, selama dua tahun bermukim di Makkah, Ali
juga belajar kepada ulama besar Tanah Suci, Sayyid Alwi Al-Maliky dan
Syaikh Umar Hamdan.
Ketika
Kiai Ali kembali dari Makkah, tahun 1941, kondisi tanah air kacau
balau. Penjajah Jepang baru saja masuk. Seperti pesantren-pesantren
lain, Pesantren Lasem pun sepi, ditinggal para santrinya.Dengan usaha
Kiai Ali yang gigih, perlahan pesantren yang didirikan ayahandanya itu
kembali menggeliat bangkit.
Namun
baru dua tahun ia memimpin Pesantren Lasem, ibu mertuanya datang dan
minta dirinya pindah ke Krapyak, Yogyakarta, untuk memimpin pesantren
yang baru saja ditinggal wafat Kiai Munawir. Sentuhan tangan dinginnya
berhasil menghidupkan kembali Pesantren Krapyak. Bersama ipar-iparnya,
ia meneruskan kepemimpinan Kiai Munawir hingga Pesantren Krapyak kembali
berkembang pesat dan dikenal luas.
Arus
perubahan melanda NU menjelang dan di awal tahun 1980-an. Yakni, adanya
keinginan untuk kembali ke khiththah 1926, bahwa NU tidak berpolitik.
Setelah wafatnya Rais Am K.H. M. Bisri Syansuri pada 25 April 1981,
untuk menduduki posisi puncak dalam kepemimpinan NU, salah seorang yang
dianggap paling pas adalah Kiai Ali Ma’shum.
Benar
saja, September 1981, Kiai Ali Ma’shum terpilih menjadi rais am PBNU.
Ia dipilih dalam Muktamar NU di Kaliurang, Yogyakarta.Masa 1981 sampai
1984 itu ternyata merupakan babak yang sangat menarik bagi NU. Tahun
1982 berlangsung pemilihan umum. Menjelang pemilu, beberapa tokoh NU
disingkirkan dari PPP, sehingga di kalangan NU timbul keinginan untuk
meninggalkan partai berlambang Ka’bah itu.
Kiai
Ali termasuk orang yang tidak setuju dengan langkah tersebut. Bersama
dengan Kiai As`ad Syamsul Arifin, Kiai Mahrus Ali, dan Kiai Masykur, ia
minta agar Ketua PBNU K.H. Idham Chalid mundur dari jabatan, karena
dianggap gagal memimpin.Pada awalnya Idham Chalid setuju mundur. Tapi
beberapa hari kemudian, karena ada pengkhianatan, ia mencabut pernyataan
pengunduran dirinya itu.
Nahdlatul
Ulama pecah menjadi dua kelompok: kelompok Idham Chalid, atau sayap
politik, yang berbasis di Cipete, Jakarta Selatan, dan kelompok Kiai
As’ad, atau sayap khiththah, yang disebut kelompok Situbondo. Walaupun
demikian, selalu diupayakan agar terjadi ishlah. Namun usaha itu
gagal.Setelah upaya ishlah mentok, Kiai Ali menganggap kelompok Cipete
tidak ada, hingga jabatan ketua umum atau ketua tanfidziyah dirangkap
oleh rais am.
Pada
1983, sayap khiththah mengadakan Musyawarah Nasional Alim Ulama di
Situbondo dan menghasilkan konsep kembali ke khiththah 1926. Tahun
berikutnya, pada Muktamar ke-27, ditetapkanlah konsepsi tersebut serta
penerimaan asas tunggal Pancasila. Dengan keputusan itu, NU menyatakan
independen, tidak ada hubungan dengan partai politik tertentu. Jabatan
ketua tanfidziyyah diserahkan kepada K.H. Abdurrahman Wahid dan jabatan
rais am diserahkan kepada K.H. Achmad Siddiq. Kiai Ali sendiri duduk
dalam Dewan Penasihat atau Mustasyar.
Kamis
7 Desember 1989, tepat usai adzan maghrib, Kiai Ali Ma’shum berpulang
ke rahmatullah dalam usia 74 tahun. Keesokan harinya, ribuan umat Islam
mengantarkan kepergiannya ke peristirahatan terakhir di Pekuburan
Dongkelan, Bantul, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment