![](https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-9/549944_474599695937813_493691624_n.jpg?oh=d412cba40d932081c96dbcec2f4ddd8a&oe=56D49CA2)
K.H. Abdurrahman Wahid
Saat
Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, sempat
terjadi suasana yang panas. Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo
dan kubu Cipete, melainkan juga karena kubu Situbondo terancam pecah
akibat K.H. Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri,
menolak K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi ketua umum
Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan jabatannya
sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Alasannya, ketua umum PBNU tidak
pantas ngurusi “kethoprak”.
Namun
ternyata Gus Dur tidak mau mundur. Ia bersikeras lebih baik tidak jadi
ketua umum PBNU daripada melepas jabatan ketua DKJ. Sikap keras Gus Dur
sekilas tampak agak menyimpang dari tradisi keulamaan NU, yakni tunduk
kepada kiai. Apalagi K.H. Machrus saat itu rais Syuriyah Pengurus
Wilayah NU Jawa Timur.
Masalahnya
kemudian terselesaikan saat K.H. Achmad Sidiq dari Jember bercerita
kepada K.H. Machrus Ali. Ia bermimpi melihat K.H. Wahid Hasyim, ayah Gus
Dur, berdiri di atas mimbar. Spontan K.H. Machrus berubah, sikap
mendukung Gus Dur tanpa syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, K.H. Wahid
Hasyim merestui Gus Dur.
Sekalipun
lebih tua, K.H. Machrus tawadhu kepada K.H. Wahid Hasyim, karena K.H.
Wahid Hasyim adalah putra Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri
NU dan gurunya.
Akhirnya
Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, dan pada dua muktamar
berikutnya ia kembali terpilih sebagai ketua umum. Maka selama lima
belas tahun (1984-1999) NU berada dalam kendali Gus Dur.
Kejadian
di tahun 1984 itu menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU.
Dua pilar dalam tradisi itu adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan
darah, dan hubungan patronase kiai-santri atau guru-murid.
Gus
Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah maupun ibu.
Selain cucu K.H. Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia pun cucu K.H. Bisri
Syansuri dari jalur ibu. K.H. Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan
pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang, adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid
Hasyim, ibunda Gus Dur.
Dalam
hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng merupakan ”kiblat”,
khususnya semasa K.H. Hasyim Asy`ari. Banyak kiai besar yang belajar di
Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri
kepada putra kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada
cucu kiainya. Karena itu, putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”.
Wajar
jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin. Apalagi,
ia juga memiliki kemampuan keilmuan yang dipandang sangat tinggi di
antara para tokoh NU. Meskipun tidak dikenal sebagai spesialis dalam
salah satu atau bebrapa cabang ilmu keislaman, ia sangat menguasai kitab
kuning, juga kitab-kitab kontemporer yang disusun para ulama di masa
belakangan. Selain mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai
berbagai ilmu lain dengan wawasan yang sangat luas.
Di
masa Gus Dur, pamor NU terus menaik. Ia berhasil membawa NU menjadi
kekuatan yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan, yang waktu
itu tak terimbangi oleh siapa pun. Setelah sebelumnya kurang
diperhitungkan, kecuali di saat-saat pemilu, NU kemudian berubah menjadi
betul-betul dikenal dan dihormati banyak pihak, baik dari dalam maupun
luar negeri. Jika sebelumnya jarang dibicarakan orang, dalam waktu
singkat NU berubah menjadi obyek studi dari banyak sarjana di mana-mana.
Semua itu tak dapat dilepaskan dari peran Gus Dur, baik sebagai ketua
umum PBNU maupun sebagai pribadi dalam berbagai kapasitasnya.
Ya,
Gus Dur memang punya kharisma yang besar di mata para kiai, apalagi di
depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi
jendela menuju dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus
Dur, karena ia membawa pesantren dan NU ke dunia luar yang luas. Ia
membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.
Sejak
di bawah kepemimpinan Gus Dur, peran NU sebagai jam`iyyah maupun peran
tokoh-tokohnya sebagai individu dari waktu ke waktu semakin kuat dan
terus meluas, termasuk dalam politik. Meskipun secara resmi NU telah
menyatakan diri kembali ke khiththah dan tidak lagi berpolitik praktis,
pengaruh politiknya tak pernah surut, bahkan semakin menguat.
Tokoh-tokoh NU yang terlibat di pentas politik, meskipun tidak
mengatasnamakan NU, semakin banyak.
Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat mengandalkan dukungan warga NU.
Dinamika
politik kemudian terus bergulir. Hanya berselang setahun tiga bulan
setelah pendirian PKB, akhirnya pada bulan Oktober 1999 Gus Dur terpilih
sebagai presiden RI yang keempat melalui pemilihan langsung yang
dramatis di MPR. Itulah puncak karier NU di pentas politik.
No comments:
Post a Comment