SANG MANDOR


Oleh Sholikul Huda

            Sinar kehidupan merayap diantara sela-sela jendela batu, disebuah lorong, deretan ruang. Disana kami menggali dan disana pula kami dikubur. Disana kami menyelam dan disana pula kami di tengelamkan. Ya … disana tambang dan samudra kami.
Sang mandor datang, kami diam. Ia mulai menggerakan cangkul kami, memasang tabung selam kami, membiarkan kami menggali tambang ilmunya, membiarkan kami menyelami samudra kata mutiaranya.
Keberuntungan bukan hal tabu, akan halnya penambang emas, tak semua mendapat emas, walaupun kami sama-sama mengali dan sama-sama yakin akan adanya emas ditempat itu, akan halnya hokum alam semua kembali kekeberuntungan.
Tatkala kami sedang dalam-dalamnya menggali, serta dalam-dalamnya menyelam seketika mandor kami diam seakan berkata “Berhenti”, cangkul kami berhenti menyayat tanah, kami kembali kedaratan, menatapnya tajam seakan ingin berkata “ada apa?, kenapa berhenti?”
“iinna khoiril kalam ma qola wadul” katanya, berwibawa.
Mata kami tak henti menatapnya pikiran kami siap menerima kata-kata selanjutnya darinya.
“sebaik –baik perkataan adalah yang singkat tapi memahamkan, reti maksutte??”kata mandor usia 79 tahun itu.
 “mboten….!!” jawab kami serentak.
“wong kuwi akeh omonge sitek manfaate, duwor bahasane neng ora mahamke, dadi nyusahke muritte, muret iku butoh ngelmu kang gampang den amal no”
Kami masih diam, sebagian masih bertanya-tanya, sebagian menganguk paham, aku sendiri masih bertanya-tanya. Seakan tau pikiran kami, sang mandor kembali bertuah.
“dadi guru iku angel, aku kuwi during iso, aku njaluk ngapuro reng kuwe-kuwe…!” ia menyudahi tuahnya.
           Semua terbelalak, berkerut kening, dalam benak kami penuh dengan pertanyaan “kenapa meminta maaf..?” “apakah sebesar itu salah seorang mandor pada pegawainya hingga harus meminta maaf lebih dulu..?” “bukankah tidak etis hal tersebut..?”
.           Belum jua semua pertanyaan itu terjawab, terdengar “wassalamu’alaikum wr wb”. Serentak kami hilangkan segala peluhtanya kami simpan bersegera beranjak dari tempat duduk, menjabat tangan mandor kami itu sembari menciumnya ngalap berkah.
Jam demi jam penggalian dan penyelaman kami lakukan, entah menggapa petuah mandor di jam pertama masih membayang, hingga jam pencarian kami selesai, memang tak ada yang membahasnya tapi terlihat mereka memikirkannya.
Tak hanya di tambang itu, di rumah peraduan, pikiranku masih tak henti bergejolak ketidak riskan nan akan hal itu. Batinku tak mau terima melakukan perdebatan sengit yang mangoyak jiwa, “seumur-umur baru kali ini” gumamku……..ah ya sudahlah…
Sinar kehidupan kembali bergejolak, berulang kali penyelaman kami lakukan, berulang kali kami menyayat tanah, berulang kali pula para mandor bergantian keruang kami. “mbah hamid sakit” kata mandor terakhir di ruang kami itu. Entah petir mana yang menyambar kami, entah angin mana pula yang menyeruak tubuh kami. Serentak ruang menjadi sunyi. Tubuh kami tergolek lemas semangat kami sirna. Tertutup rasa takut, khawatir, bagai anak burung yang jatuh dari sarangnya. Entah mau kemana?, entah mau apa?,.­
Memang hamper tak pernah terdengar mandor kami itu sakit, walaupun batangan rokok yang diangap penyebab banyak penyakit tak pernah lepas dari japitan jari tangannya.
Sang mandor terbaik jatuh sakit, mandor karis matik, mandor sepuh yang setiap orang berebut jabat tangan darinya. Serta tentunya seorang yang mampu memahami kami. Sebegitu luar biasa ketawadu’an hingga berani bertuah bahwa ia belum bias menjadi mandor yang baik dengan segala pengalaman yang hamper meraup seluruh hidupnya, ketawadu’an yang mampu memendam pangkat kesombongannya.
Selayaknya seorang pegawai yang sangat dekat dengan sang mandor kudatangi kediamannya. Rumah mungil itu di penuhi tamu-tamu yang ikut prihatin. Di atas ranjang itu ia terbaring, sekelilingnya ranjang itu tertunduk lesu beberapa kerabat serta anak istrinya. Aku dekati ia, menjabat tangan lemasnya, mencium tangan itu…
“assalamu’alaikum, kataku lirih.  “wa’alaikumsalam gus”  jawabnya, mata sayunya menatapku.
“pripun yai, sampun sae??”.  “alhamdulillah”
Setelah berbincang beberapa saat, menikmati suguhan dari istrinya, aku pun berpamitan. “iki ono surat, amalno yo gus, katanya sebelum aku keluar dari kamarnya, aku hanya membalas dengan senyum, sebenarnya ingin Tanya tetang surat itu, ia lebih dulu berkata untuk tidak membuka sebelum tanggal 10 (1minggu dari sekarang) selain itu melihat keadaannya tak tega rasanya .
Lima hari dari hari itu kabar wafatnya sang mandor telah menyebar cepat. Bakwabah penyakit semua  berduka, tidak hanya kami tapi juga puluhan ribu umat yang mengenalnya. Tamu mulai berdatangan luar biasa banyak, ratusan kendaraan besi berjejer rapi di pinggir di berbagai penjuru jalan. Mereka membawa raut kesedihan, akan halnya mereka aku pun hamper tak berdaya tak percaya “serasa baru kemarin”.
Air mata kami pendam, mencoba lebih tegar. Siang malam berganti menemani kesedihan kami, alunan tahlil serta ayat suci al-qur’an tak henti menggisi kesunyian malam di kediamannya. Disebuah sudut rumah itu aku menyendiri mulai lantunkan ayat-ayat suci tubuhku serasa ringan hamper tak sadar masuk kedalam alam bawah dasar…….”surat itu”…… aku bangkit dan segera pulang, diatas ranjang, kubuka surat itu “ilmu allah  adalah cahaya, dan cahaya allah itu letaknya di hati, kalau menggajar gunakanlah hatimu” begitulah kiranya arti surat tertulis dari bahasa arab itu.

“sampai sekarang surat itu masih saya simpan, saya jadikan landasan belajar dan menggajar saya”, begitulah caraku mengakhiri cerita, didepan puluhan calon mandor di jam pertama di sebuah ruang kuliah,,.
 himaexa@gmail.com

No comments:

Post a Comment

Atur acara api unggun

                      Ditengah keheningan malam.......... bersana bulan dan bintang yang bertaburam............ bersama pula alunan san...