Abdurrahman “Addakhil”,
adalah nama lengkap Gus Dur pada waktu masih kecil. Secara leksikal, Addakhil
berarti “Sang Penakluk”, nama ini di ambil dari seorang perintis Dinasti
Umayyah yang menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol oleh ayahnya.
Belakangan kata Addakhil tak cukup dikenal dan diganti nama Wahid, Abdurrahman
Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan
kehormatan khas pesantren kepada anak kiai yang berarti “mas”.
Abdurrahman Wahid yang lebih akrab
dipanggil Gus Dur adalah presiden RI ke-4 , Gus Dur mulai menjabat menjadi
presiden pada 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau dilahirkan di desa Denanyar, Jombang di rumah Pesantren
milik kakeknya dari pihak ibu. KH. Bisri Syansuri. Tanggal 4 Agustus 1940
adalah hari kelahiran beliau, walau ada yang berbeda pendapat dalam hal ini,
sebagian lain menyatakan gus dur lahir tanggal 4 bulan 8 menurut kalender
islam, jadi gus dur dilahirkan tanggal 7 september 1940. Namun tanggal 4
Agustus adalah Ultah yang biasa dirayakan oleh keluarga beliau.
Gus Dur adalah putra pertama dari
enam bersaudara. Ayahnya bernama KH. Wahid Hasyim adalah menteri agama pada
tahun 1949-1952 . Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri
Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri.Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur
mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi
ayahnya. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah,
surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain
bola, catur dan musik. Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di
Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan
mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren
Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar
dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan
ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang,
di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir.
Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya,
yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus
Dur berada di Mesir. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia
empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh,
Annita Hayatunnufus, dan nayah Wulandari.
Sepulang dari pengembaraannya
mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun
1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang.
Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada
tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya
sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran
Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta
pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang
dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan
undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan
kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat
dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan
Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M
yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke
Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal
tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur
terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama,
sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin.
Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan
kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
`menyimpang`-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agamasekaligus pengurus
PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) pada tahunn 1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film
Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih
secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad
Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di
Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren
Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan
ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama
menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali
pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.
Gus Dur wafat pada hari Rabu,
30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul
18.45 WIB pada usia 69 tahun. Beliau dimakamkan secara kenegaraan yang dipimpin
langsung oleh Presiden RI di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng pada tanggal
31 Desember 2009. Pondok pesantren tempat Gus Dur dimakamkan menjadi maskot
Kabupaten Jombang sebagai tempat ziarah yang memiliki daya tarik tak
tertandingi. Bahkan orang-orang yang selama ini berseberangan politik dengan
Gus Dur akan cenderung mengagungkan Gus Dur bukan karena prestasi politiknya
melainkan karena berkahnya yang diyakini mampu memberikan perlindungan dan rasa
aman.