![](https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xlf1/v/t1.0-9/423030_474597922604657_1603715482_n.jpg?oh=3b711e9cf35be66ef1f2ee666c7b99e7&oe=56E986AF)
Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari
K.H.
Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M
di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara
pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah
binti Usman. Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri
Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren
Gedang. Buyutnya dari pihak ayah, Kiai Sihah, pendiri Pesantren
Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di Jombang.
Sampai
umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri sampai pada
taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak
jarang lebih tua dibandingkan dirinya. Pada umur 15 tahun, ia memulai
pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo
(Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan, Madura
(Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren
Siwalan Panji). Pada pengembaraannya yang terakhir itulah, ia, setelah
belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun
1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan
Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah.
Namun,
dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah,
Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan
kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar
dan bermukim di tanah Hijaz. Tahun itu juga, Hasyim pulang ke tanah air.
Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis,
untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu
tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar. Tahun 1900, ia pulang
kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun kemudian, 1903,
ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat
mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya,
Nafisah.
Selama
di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama
Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih
Al-Bukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi
spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang
sepulangnya dari Tanah Suci.
Selama
hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan
Nafisah, antara lain ia juga menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji,
Masrurah, dari Pesantren Kapurejo, Kediri. Tahun 1899, 12 Rabi’ul Awwal
1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren inilah K.H.
Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam
tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi
kreatif. Ia juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum
pesantren, seperti Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan
sejak 1926 ditambah dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia.
Kiai
Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin
spiritual para kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah
Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin
spiritual para kiai. Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim
menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak
kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah
fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang
melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa
10 November di Surabaya. Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling
mendasar Hasyim adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem
madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran
Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini erat kaitannya dengan
sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Menurut
Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada.
Namun persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki
literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak
mungkin bisa memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa
mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam madzhab. NU
didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika
itu mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab. Kiai
Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun.
No comments:
Post a Comment