![](https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/22121_474598822604567_481389584_n.jpg?oh=6e4fcc0a50abfd7b636b43356a7973d7&oe=56EA90D4)
K.H. Ahmad Shiddiq
“Ibarat
makanan, Pancasila, yang sudah kita kunyah selama 36 tahun, kok
sekarang dipersoalkan halal dan haramnya.” Demikian ungkapan K.H. Ahmad
Shiddiq mengenai penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya
asas organisasi, dalam Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo. NU adalah
organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal,
padahal tidak sedikit umat yang menolaknya, apalagi partai Islam. Itulah
ketokohan, kemampuan intelektual, dan kapasitas keulamaan Ahmad
Shiddiq. Pujian Presiden Suharto terucap pada tahun 1989 ketika membuka
Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di bawah kepemimpinan Ahmad
Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin terangkat.
Pada
Muktamar NU ke-27/1984 di Situbondo, ia berhasil menjadi palang
terakhir pemisahan diri yang dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin
terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-28. Ia merangkul kembali
kiai sesepuh NU yang kharismatis tersebut. Pada Muktamar NU ke-28 itu ia
berhasil menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang banyak
menerima guncangan dari sebagian warga NU sendiri.
Begitu
juga mengenai “kembali ke khiththah NU 1926”. Meski bukan satu-satunya
perumus, dialah yang disepakati sebagai bintangnya kembali ke khiththah.
Pada 1979 ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang khiththah Nahdliyah,
sebagai sumbangan berharga bagi warga NU. Ahmad Shiddiq lahir di Jember
tepat seminggu sebelum NU diresmikan berdirinya oleh Hasyim Asy’ari,
yaitu 24 Januari 1926. Ayahnya, K.H. M. Siddiq, adalah pendiri Pesantren
Ash Shiddiqiyah di Jember. Seusai belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia
belajar di Pesantren Tebuireng.
Ia
diangkat menjadi sekretaris pribadi menteri agama ketika jabatan itu
dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 1950. Ketika menjadi ketua
Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu K.H. Hasyim Asy`ari, pun berduet
dengannya sebagai rais am PBNU.
Sebelum
itu, ia mundur dari DPR hasil Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara
keras soal Nasakom.” Ia hadir kembali sebagai wakil rakyat setelah
pemilu Orde Baru pertama, 1971. Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad
Shiddiq berpulang ke rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya,
ia dimakamkan di pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kiai
hafal Al-Quran dikuburkan.
No comments:
Post a Comment