Lelaki itu mulai
mengibaskan kembali kipasnya; menjaga bara api tetap memerah; tumpukan jagung
dalam karung masih belum berkurang dan beberapa jagung yang sudah di bakar.
Bayang-bayang pohon dibelakangnya sudah mulai memanjang melebihi bayangan tubuh
rentanya-jam dinding disebuah conter kecil sebelah kanan jalan , mengabarkan
bahwa waktu beranjak senja. 13.30 . tujuh jam lebih semenjak lelaki paruh baya
itu meninggalkan pintu rumahnya. Sudah sesiang ini tak satupun jagungnya yang terjual. Meskipun
Jalanan di depanya tak kunjung reda; ia sesekali meneriakan “jagung-jagungnya
buk…… pak……”
Tak satupun pengendara
yang sekedar menoleh dagangnya. Tak seorang pun yang berhenti menghampirinya. Apa
lagi menanyakan harganya atu memesan racikan jagung bakarnya.
Sementara detik-detik
terus saja berguguran bersama dengan kibasan kipas yang bolak-balik;
kekanan-kekiri, lelaki paruh baya itu mulai merasakan lapar yang melilit di
perutnya. Ia pun menghentikan kibasan kipasnya sejenak ,dan mengambil satu
jagung daganganya untuk mengganjal perutnya. Suara adzan di sebuah masjid
terdengar keras dari belakang tubuhnya terduduk menunggu rezeqi datang. Ia pun
meninggalkan harta penghidupannya dan berajak melangkahkan kaki rentanya ke
rumah suci;tanpa takut ataupun cemas; ia hanya percaya“ kalau emang rezeqi ya…
nggak kemana-mana” sebuah intuisi dari kalimat dalam Koran yang nggak sengaja
terbang kearahnya.
Plak…..plak….plak, suara
sandal buntut ; lelaki paruh baya itu melangkah menuju masjid tepat
dibelakangnya. Beberapa menit pun telah
penuh dengan aktifitas agamisnya. Kini, lelaki paruh baya itu sudah kembali ke
tempatnya semula; ia mulai mengibaskan kipasnya lagi dan lagi;matanya tertuju
tajam pada jagung dagangannya, sambil membolak-balikannya.
v
Senja pun tiba, sepeser
pun tak kunjung menghampiri si lelaki itu. “mbah pripun jagunge mpun laku..?
suara penjual mainan ,menghampiri. “urung nang,
ki malah durung kalong blas” jawab si lelaki. “nak, ngoten, tumbas kaleh
mbah ! lumayan, kangge istri kula sing
nembe nyidam”. Si lelaki pun tersenyum ; menerawang kedalam wajah cucu semata
wayangnya ,di gubuk peyotnya. “niki nang jagunge…” menyodorkan pesanan ke
penjual mainan. “ ngapuntenne mbah, kula supe malah dagangan kula dereng laku,
napa? Kula mbayare ngangge dagangan kula mawon..?” tawar si penjual. “ ya, rak popo nang, mbah kan duwe putu
lanang siji, iku enak e di ke’i dolanan apa?” . “ montor-montoran mawon mbah”
sahut cepat si penjual. “ ya nang, montor-montoran wae lah ” lelaki paruh baya
itu setuju, sambil menerima sebuah mainan motor-motoran itu.
Hari semakin gelap si
lelaki paruh baya itu pun, memutuskan untuk pulang. Tak sabar melihat cucunya
di rumah. Tak butuh waktu lama berjalan,akhirnya si lelaki pun sampai di depan
pintu rumahnya . “asslamu’alaikum” . “ wa’alaikum salam “ . “eh, aki dah
pulang, pripun ki..” sambil menggendong radit; cucu semata wayangnya yang sudah
di tinggalkan kedua orangnya sejak umur 8 bulan. Si lelaki pun hanya diam sambil mengatungkan mainan
yang di perolehnya kepada si cucu. Si cucu radit pun tersenyum bahagia sambil
berkata “ matur nuwun
aki” . si istri lelaki itu pun ikut tersenyum. Ruang langit
telah penuh dengan tebaran bintang-bintang di angkasa, dan pancaran kebahagiaan
memancar keluar dari gubuk peyot dan semakin terang dengan suara tawa radit
yang kegirangan. -
himaexa@gmail.com
No comments:
Post a Comment