K.H. M.A. Sahal Mahfudz
K.H.
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen,
Pati, Jawa Tengah, seluruh kehidupan dan aktivitasnya terkait dengan
dunia pesantren, ilmu fiqih, dan pengembangan masyarakat.
Kiai
Sahal memang nahdliyyin tulen. Dalam menyikapi berbagai problematik
sosial, ia selalu menjunjung tinggi sikap tawasuth (moderat), tawazun
(seimbang), dan tasamuh (egaliter), yang menjadi ciri khas ulama NU.
Namun,
kontribusi pemikirannya yang paling menonjol adalah perhal fiqih sosial
kontekstual, yakni bahwa fiqih tetap mempunyai keterkaitan dinamis
dengan kondisi sosial yang terus berubah. Penampilan Kiai Sahal Mahfudz
bersahaja, tenang, dan lugas dalam berbicara tapi tidak terkesan
menggurui. Padahal ia adalah nakhoda kapal besar bernama Nahdlatul Ulama
dan MUI, yang fatwa-fatwanya sangat berpengaruh.
Muhammad
Ahmad Sahal Mahfudz lahir di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,
17 Desember 1937. Ia putra K.H. Mahfudz Salam, pendiri Pesantren
Maslakul Huda, pada tahun 1910. Nasab Mbah Sahal bermuara pada K.H.
Ahmad Mutamakin, tokoh legendaris yang diyakini hidup pada abad ke-18,
salah seorang waliyullah, penulis kitab tasawuf Serat Cebolek.
Sahal
Mahfudz kecil mengaji kepada orangtuanya, sambil bersekolah di Madrasah
Diniyyah tingkat ibtidaiyah (1943-1949) dan tingkat tsanawiyah
(1950-1953) di lingkungan Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.
Sambil sekolah di Madrasah Diniyyah, ia juga mengikuti kursus ilmu umum
di Kajen (1951-1953).
Tamat
MTs, Sahal nyantri di Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, yang
diasuh Kiai Muhajir. Empat tahun kemudian ia melanjutkan ke Pesantren
Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Di pesantren yang terkenal dengan
pendidikan ilmu fiqih itu ia belajar langsung kepada Kiai Zubair. Selain
mengaji, ia, yang sudah cukup alim, juga diminta membantu mengajar
santri-santri yunior.
Pertengahan
tahun 1960, usai menunaikan ibadah haji, Sahal Mahfudz bermukim di
Makkah dan belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Tak kurang
tiga tahun ia berguru kepada ulama besar Al-Haramain asal Padang itu.
Tahun 1963, ia pulang ke tanah air.
Kehadiran
ulama muda yang berita kealimannya dalam bidang fiqih sudah mulai
tersebar itu segera saja menarik perhatian beberapa lembaga. Sejak 1966
Kiai Sahal diminta mengajar sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi.
Puncaknya, sejak 1989, ia dipercaya menjadi rektor di Institut Islam
Nahdlatul Ulama, Jepara.
Meski
hanya belajar di bangku pesantren, sejak muda Kiai Sahal telah
menunjukkan bakat menulis. Tradisi yang semakin langka di lingkungan
ulama NU. Ratusan risalah atau makalah dan belasan buku telah
ditulisnya.
Salah
satu karya yang merupakan bukti keandalannya dalam menulis adalah kitab
Thariqat al-Hushul (2000), syarah atas kitab Ghayah Al-Wushul, sebuah
kitab tentang ushul fiqh karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari.
Karena kelebihan tersebut, Kiai Sahal kemudian banyak didekati kalangan
media.
Kiprah
Kiai Sahal di NU diawali dengan menjadi kahtib Syuriah Partai NU Cabang
Pati 1967-1975. Kedalaman ilmunya dan kearifan sikapnya perlahan
membawa langkah kaki suami Dra. Hj. Nafisah Sahal itu ke jenjang
tertinggi di NU, yakni rais am Syuriah PBNU, untuk periode 1999-2004,
dan terpilih lagi di Muktamar Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, untuk
periode 2004-2009.
Kiai
Sahal sangat teguh dalam menjaga sikap. Saat terpilih menjadi rais am
PBNU pada 1999, ia menyampaikan pandangan kenegaraannya bahwa, sejak
awal berdirinya NU, warga nahdliyyin berada pada posisi menjaga jarak
dengan negara. Karena itu, meski jabatan presiden saat itu diemban oleh
K.H. Abdurrahman Wahid, yang juga tokoh NU, Kiai Sahal tetap
mempertahankan tradisi tersebut dengan selalu bersikap independen
terhadap pemerintah.
Selain
di NU, kefaqihan Kiai Sahal juga membawanya ke MUI. Setelah sepuluh
tahun memimpin MUI Jawa Tengah, pada tahun 2000 ia terpilih menjadi
ketua umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005, dan terpilih lagi untuk
periode 2005-2010.
No comments:
Post a Comment