![](https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/205685_474598145937968_1207097190_n.jpg?oh=c1fcde2de5df114b70a927eb52751101&oe=571BC903)
Abdul Wahab Chasbullah
Ia
lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak
jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan
dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?). Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh
Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai
kondang (Siapa?).
Pendidikannya
dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan (Tuban),
Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko,
Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura),
langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian
menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang).
Pada
umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar
Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai
Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya,
Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di
sana yang bukan orang Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan
Syaikh Umar Bajened. Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama
istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan
Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini
juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita
yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari
istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said.
Setelah
Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan,
seorang janda yang punya anak bernama Syaichu, yang kelak menjadi ketua
DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah lagi dengan Masnah,
dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti Kiai Abdul Majid
(Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat anak, dan yang
terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang mendampinginya sampai
akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak. Sedikit mundur ke
belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok
diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur.
Pada
tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional
muda, seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid
(1899-1938), yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU.
Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia
mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk
kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang.Pada tahun 1920, ia
juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya
dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.
Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.
Pada
31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para
ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk
mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke
kongres di Makkah untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang
dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan
Madura itu dilakukan di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya.
Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU,
sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh
Islam tradisional di Hindia Belanda.
Kemudian,
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di
Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan
Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur
(Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini
bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam.
Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada
November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab
Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya. Meski Masyumi adalah
organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis,
dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan
Jepang.
November
1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satu-satunya
kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis
Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari,
menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan.
Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat
muktamar di Purwokerto (1946), orang orang NU tampil di pemerintahan,
yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang
Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA.
Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU.
Benih-benih
krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah
menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan
penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari
Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh
anggota parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab
Chasbullah, Idham Chalid, Zainul Arifin. Mereka kemudian membentuk
partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar.
“Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.
Pada
Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan
Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang
politik praktis di Jakarta, terutama sebagai anggota parlemen dan rais
am NU. K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada usia
83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.
No comments:
Post a Comment