![](https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/v/t1.0-9/539068_474598522604597_654925549_n.jpg?oh=fd093a2e3615edb8ac18ffa55781ddcd&oe=57219D89&__gda__=1457944790_43cff58393cfb083bab5aa63928c82ae)
Bisri Syansuri
RUU
Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974,
terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar
Bisri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU
yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama
sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP,
diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan.
Begitu
pula ketika ada usaha keras untuk mengganti tanda gambar PPP dari
Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, ia tampil dominan dan berhasil
mempertahankan tanda gambar PPP. Diakui atau tidak, ia adalah penerus
Wahab Chasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik
di NU, PPP, maupun DPR.
Setelah
Wahab wafat pada 1971, ia menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU
sebagai rais am. Tapi memang sejak adanya jabatan rais am, yang
ditetapkan setelah wafatnya Hasyim Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi
“dwi tunggal” sebagai ketua dan wakil. Bisri, anak nomor tiga dari lima
bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/26
Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi
ajaran Islam.
Umur
tujuh tahun, ia belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan
tahun. Setelah itu ia mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada
Kiai Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah
itu ia ke Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil
Kasingan. Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada Kiai
Cholil. Di sinilah ia berjumpa dan berteman akrab dengan Wahab
Chasbullah. Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H.
Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Setelah enam tahun, ia mendapat
ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
Seusai
dari Tebuireng, ia melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama
Wahab (1912). Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama terkemuka,
seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh
Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas. Tahun
1914 ia mempersunting adik Wahab Chasbullah, Nur Chadijah, di Tanah
Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan menetap
di Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas.
Pada
1917, atas bantuan mertua, ia membuka pesantren sendiri di Desa
Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu
pula, kakak iparnya, Wahab, pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam
sepak terjang Wahab ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU
pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya. Dalam proses pendirian NU,
Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asy`ari.
Segera
setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus besar, ia
menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara Jawa.
Posisi itu membuatnya dikenal secara luas.
Rumah
tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang meninggal
waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid
Hasyim, putra sulung Hasyim Asy`ari, gurunya. Ketika Masyumi terbentuk,
ia pun aktif di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase
perjuangan bersenjata. Di pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite
Nasional Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat
dalam Dewan Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 ia
terpilih masuk DPR. K.H. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan
setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979,
tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun.
No comments:
Post a Comment