![](https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/422980_474599075937875_1200693547_n.jpg?oh=7e70f2c23e2d4bf8749ca14c511b5879&oe=5713A6A6)
K.H. Wahid Hasyim
Gus
Wahid, demikian ia biasa disapa, lahir pada Jum’at 1 Juni 1914, dari
pasangan K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU, dan Nyai Nafiqah binti Kiai
Ilyas. Ia anak lelaki pertama pasangan tersebut. Umur lima tahun, Wahid
Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah
khatam Al-Quran. Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di Siwalan Panji,
Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia belajar sendiri
berbagai ilmu pengetahuan.
Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun.
Empat
tahun sepulang dari Tanah Suci, ia bergabung dengan NU. Di NU ia mulai
dari bawah, sekretaris tingkat ranting di Desa Cukir. Namun lompatan
panjang terjadi. Tak lama kemudian ia dipercaya menjadi ketua NU cabang
Jombang, dan ketika departemen maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun
1940 ia ditunjuk sebagai ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan
pengurus PBNU.
Pada
umur 25 tahun ia menikah dengan Solichah binti K.H. Bisri Syansuri.
Mereka pasangan yang serasi, termasuk dalam dunia politik. Ketika sang
suami menjadi menteri, sang istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini
dikaruniai enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Bulan Maret
1942, Jepang mendarat. Semua ormas dan orpol Islam dilarang, dan
dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih menjadi ketuanya. Kedudukan itu,
belakangan, mengantar dirinya ke pusat perjuangan bangsa Indonesia di
zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi In, kemudian Dokuritsu Zombi
Cosakai, hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
K.H.
Wahid Hasyim adalah salah satu dari sembilan orang yang menandatangani
Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas tapi luwes menjadikannya figur yang
dapat diterima oleh berbagai kalangan kendati umurnya baru sekitar 30
tahun. Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran golongan Islam ke dalam
TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi penasihat Panglima Besar
Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan PKI Madiun, dan Clash
II. Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren
Tebuireng.
Dalam
Kabinet Sukiman, ia menjadi menteri agama. Lima kali ia menjadi
menteri. Yaitu menteri negara dalam Kabinet Presidentil I (1945),
menteri negara dalam Kabinet Syahrir (1946-1947), menteri agama Kabinet
RIS (1949- 1950), menteri agama Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri
agama Kabinet Sukiman (1951-1952).
Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi.
Pada
19 April 1953, ia dipanggil ke haribaan Allah SWT dalam suatu
kecelakaan lalu lintas di Cimindi, Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39
tahun. Jenazah dimakamkan di Tebuireng, hari itu juga. Dengan Keppres
No. 206/1964 tertanggal 24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan
Nasional disandangkan kepada K.H. Wahid Hasyim.
No comments:
Post a Comment