![](https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-9/66107_474599509271165_35577127_n.jpg?oh=99cc93f6edc3484eaad0e5c09993032e&oe=56DBC245)
K.H. Idham Chalid
Menyebut
nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita tentu akan melayang pada
gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus
menghadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu
Situbondo.Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Idham
dianggap kontroversial. Bahkan ia dijuluki “politikus gabus”, karena
dianggap tidak memiliki pendirian.
Tak
banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham, yang
sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang
lihai, Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan
ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, dan bila perlu
kompromistis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak
terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.
Semua
itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas
kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat
fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke
Orde Baru, yang berdarah-darah.
Strategi
politik tersebut dilandaskan pada beberapa prinsip. Di antaranya,
luwes, memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi,
yang justru membahayakan kepentingan umat. Menggunakan pendekatan
partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan
penguasa, demi kemaslahatan umat.
Menurut
Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan
penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar
kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.
Efek
kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di
kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu
bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun,
dalam intrnal nahdliyyin ada anggapan bahwa keterlibatan NU di wilayah
politik di bawah kepemimpinannya terlalu besar. Maka, dengan
memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan
kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham
terjatuh dari kursinya.
Idham
Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan
Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari lima
bersaudara. Ayahnya, H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu
Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Sejak
kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, ia
langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan
terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid
dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas
SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang
didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar,
Kairo, pada tahun 1922. Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana,
beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan
kelebihannya dalam pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu
mengembangkan pendidikan. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan
pengetahuan, mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab,
bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.
Di
mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat
hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita
melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam
Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, itu.
Di
Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar.
Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan
kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di
Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman,
dan Prancis.
Tamat
dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu
kota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon
sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah
dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan
itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.
Ketika
Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung
ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam
Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai
lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.
Tahun
1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia
Kalimantan, yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Usai
perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI
mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS
mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952,
Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif
dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.
Idham
memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia
diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di
bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi
sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua.
Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai
ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang
tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik
PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Chasbullah
berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.
Dalam
Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan
Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada
pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU
mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri,
yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Pada Muktamar NU ke-21 di
Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum
PBNU, menggantikan K.H. Muhammad Dahlan.
Kabinet
Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet
Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana
menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi
wakil ketua MPRS.
Pertengahan
tahun 1966 Orde Lama tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi
Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang
dibentuk Presiden Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan
rakyat sampai tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971. Nahdlatul Ulama
di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971.
Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga
partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.
Idham
Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia
juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977. Jabatan
terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan
Agung.
No comments:
Post a Comment