by: be_imoet
Kriiiiiiiing......... suara alarm di HPku yang sengaja aku
pasang pada jam 03.00 pagi membangunkanku dari tidurku yang sungguh tak
nyenyak. Aku bergegas membangunkan Duwik yang sebelumnya sudah pesan agar
dibangunkan. Eh, bukannya bangun malah dia bilang “Sudah bangun.” Lalu kembali
tidur lagi. Duh, ni anak bener-bener kelewatan. Aku cuma bisa menggeleng. Sial!
Gara-gara dia aku tidak bisa tidur lagi. Dengan bermalas-malasan tepat jam
04.45 aku bangun.
Hari yang cukup cerah. Dan aku harus bangun pagi karenanya,
padahal aku males banget bangun pagi. Kalo boleh bilang I HATE GET UP EARLY!
Entah kalian setuju atau tidak itu urusan kalian. Bangun pagi, mandi pada hawa
yang dingin ini lalu berkemas untuk siap-siap pergi ke luar kota. Jam 05.15 aku
sudah berada di tempat yang di tunjuk seorang teman saat kami ngatur janji
semalam. Kurang lebih 20 menit aku menunggu kedatangannya, dan akhirnya muncul
juga tuh orang. Lalu kami naik ke atas bus ke kota tujuan. Iya, kota yang tidak
aku harapkan. Benar-benar bukan kota idaman. Jalur lalu lintas yang padat, bus
yang penuh sesak dan bikin gerah.
Aku melihat sekelilingku tertidur dan suasana di dalam bus
menjadi sepi.
“Duh, ini pada kesirep apaan ya kok pagi-pagi gini di bus yang
penuh sesak ini pada bisa tidur?” ucapku dalam hati. Wah, bosen banget nih....
mau ngajak ngobrol siapa? Seorang teman yang duduk disebelahku pun ikut tidur,
lalu aku menyibukkan diri dengan HPku, mencoba menikmatinya dengan apa adanya
selama kurang lebih satu setengah jam.
Dengan bau air got yang menusuk hidung, aku masih sempat mencium
wangi bau makanan di terminal sesaat setelah kami sampai. “Laper....” Kataku
manja yang aku tujukan kepada seorang teman sambil memegangi perutku. Teman
yang lain menawariku untuk sarapan terlebih dahulu sebelum kami melanjutkan
perjalanan ke tempat yang dituju. “Tidak, aku rasa aku tidak akan merasakan
kelezatan makanan di tempat seperti ini.” Ujarku. “Tapi ya terserah dia..”
Lanjutku. Ucapan yang jelas aku tujukan kepada seorang lainnya. Iya, aku lupa
bilang bahwa kami pergi bertiga. Sebenarnya dua orang temanku pergi ke kota itu
untuk suatu urusan yang agak penting dan dengan tidak direncanakan semula, aku
ikut dengan mereka dengan tujuan akan menemui kakakku untuk mengambil sebuah
barang berharga. Iya, aku bilang berharga karena barang itu adalah salah satu
aset demi berlangsungnya masa depanku yang belum sempat terbayang olehku.
Akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan menaiki
bus selanjutnya. Kami turun di tengah kota, lalu kami berjalan kaki sambil
menikmati udara yang lumayan sejuk belum tercemar banyak polusi di pagi itu.
Iya, jam 07.30 kami sampai di tempat tujuan. Di sebuah universitas ternama di
negeri ini yang merupakan salah satu universitas favorit di kota itu. Wuih,
ternyata berderet makanan tersedia di pinggir jalan sepanjang jalan kenangan,
eh bukan maksudku jalan menuju kampus itu.
Aku yang sudah tak tahan lapar pun melirik tulisan-tulisan yang
tertera di gerobak dorong si penjual. Nah, akhirnya berhenti juga... Agam
(seorang teman laki-lakiku) menawariku untuk sarapan. Setelah agak lama, aku
memutuskan ikut makan walaupun aku tidak terlalu suka menunya. Iya, bubur ayam
sebagai santapan pagi itu dari pada nanti aku kelaparan sendiri.
Aku tidak suka suasana yang sepi. Aku iseng menghitung tukang
pos yang lewat karena kebetulan kami makan di dekat kantor pos. Mungkin bagi
mereka aku adalah makhluk yang malu-maluin atau kurang kerjaan, tapi aku tidak
malu, aku hanya berusaha mencairkan suasana aja.
Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Aku menggandeng
seorang teman lainnya, perempuan, namanya Ina. Jalanan sudah mulai ramai.
Mobil-mobil berlalu lalang disana. Ina dan Agam berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Inggris dan aku pun mencoba ikut nimbrung di tengah-tengah
mereka. Setelah hampir sampai di tempat tujuan yang sebenarnya, Agam
melontarkan pertanyaan terhadapku “Kamu gimana ini? Mau kemana?”
“Udah gampang, ntar aja. Aku ngikut.” Jawabku
Akhirnya berhenti juga jalan kakinya, sudah sampai di Fakultas
Sastra tempat dimana diadakan workshop.
“Kamu gimana? Mau jalan-jalan ke Mall dulu? Atau gimana?” tanya
Ina
“Hah? Jalan-jalan? Aku kan gak tahu daerah sini.” Jawabku.
“Yach, you can call me anytime.”
Aku melihat ke arah Agam.
“Katanya janjian ketemu sama kakak sepupumu?” tanyanya.
“Iya, masih nanti siang. Jam segini mereka masih kerja.”
“Lha terus? Apa kamu mau ikut acara ini?” tanyanya lagi.
Sepertinya dia mengharapkan jawaban ‘tidak’ dariku tapi aku malah memutuskan
ikut acara mereka dengan mengeluarkan uang lima puluh ribu rupiah untuk
mendaftar. Pengeluaran yang tak terencana tapi lumayanlah gak mahal-mahal amat.
Dapat fasilitas buku dari pembicara, snack, makan siang, dan air mineral. Gak
apa-apalah, dari pada I do nothing dan gak tahu harus ngapain.
“Gimana?” tanya Agam menoleh ke belakang. Aku sengaja mengambil
tempat duduk di belakang Agam karena Ina sudah duduk disampingnya.
“Nanti kalau acaranya udah selesai aku di suruh menghubunginya
lagi.”
Tema workshop hari itu adalah “Menulis Cerpen dan Novel”. Wah,
pas banget nih, aku juga suka nulis. Dan emang benar, ternyata banyak hal yang
sebelumnya tidak aku ketahui aku dapatkan. Terutama bagaimana cara menulis
disaat pikiran kita lagi buntu dan yang terpenting adalah cara menumbuhkan semangat
untuk menulis itu sendiri.
Aku memperhatikan Ina asyik ngajak ngobrol, cerita kesana-kemari
dengan Agam. Aku bingung harus gimana. Aku menyibukkan diri lagi dengan sms
teman-teman gilaku. aku bicara seperlunya aja ma Agam bahkan nunggu dia
mengajakku bicara duluan atau aku bicara lewat sms karena aku tidak mau
dianggap mengganggu mereka berdua yang lagi asyik ngobrol.
Acara diskusi sesi pertama selesai, waktunya menyantap jatah
makan siang yang angat sederhana itu. Untuk yang kedua kalinya aku tidak selera
makan, tapi apa boleh buat. Aku paksa makan paling tidak untuk mengganjal
perutku karena aku tidak mau kelaparan di tempat yang cukup asing bagiku,
apalagi aku juga buta tentang makanan apa yang enak di daerah situ yang bisa
mengembalikan nafsu makanku. Kali ini aku tidak mau ambil resiko.
Setengah jam berlalu dan acara diskusi sesi kedua dilanjutkan.
Pada sesi ini tidak banyak para partisipan yang bertanya. Mungkin karena sudah
siang dan capai. Acara yang awalnya terjadwal dari jam 10 pagi dan diperkirakan
selesai pada jam 1 siang ini molor satu jam. Dua menit sebelum para partisipan
bubar, si pembawa acara mengumumkan bahwa sertifikat bisa langsung diambil pada
panitia. Aku agak kaget juga karena memang tidak mengetahui sebelumnya akan
dapat sertifikat juga. “Gak sia-sia aku ikut, ternyata ada sertifikatnya juga.”
Kataku dalam hati dan tersenyum.
Aku melihat Agam mengantri di depan laptop berniat minta kopian
data yang baru saja dipresentasikan oleh pembicara. Kasihan melihat si cowok
kurus itu mengantri, apalagi pas jatah dia mengkopi ada kesalahan teknis pada
laptopnya. Aku merasa sebel juga melihatnya dan yang aku tahu dia orang yang
gampang sekali ngomel dan gak sabaran.
Aku langsung meraih HPku di dalam tas dan menelfon kakakku lagi.
“Ini dimana?” pertanyaan aku lontarkan pada Agam.
“Di Fakultas Sastra, Hayamwuruk.”
Lalu aku mengulanginya untuk memberitahukan kepada kakakku.
“Disuruh menunggu sebentar, nanti dia kemari.” Ucapku yang tidak
jelas aku tujukan pada siapa tepatnya. Mereka berdua langsung mengambil tempat
duduk yang berdampingan sedang aku harus duduk sendiri dan agak jauh dari
mereka. Melihat mereka asyik ngobrol aku pun mendengarkan lagu-lagu yang sudah
ada di my playlist di HPku dan bersms ria dengan teman-teman. Sampai akhirnya
kakakku telfon dan memberitahu bahwa barang yang aku butuhkan belum selesai di
instal.
Aku pun memutuskan untuk pulang saja. Dan fikiranku makin tambah
ruwet. Sepanjang perjalanan aku jalan sendiri di belakang agak jauh dengan
mereka. Aku menyadari bahwa aku gak mudeng dengan topik pembicaraan mereka. Ya
sudah, aku menyibukkan diri lagi dengan sms dan telfon teman-teman gilaku,
tepatnya agar aku merasa tidak sendirian. Lalu Agam menoleh ke belakang dan
menawari untuk mampir ke masjid dulu dan aku hanya mengangguk sebagai tanda aku
menyetujuinya. Di masjid itulah akhirnya tangisku pecah. Padahal sebenarnya aku
ingin menahannya sampai rumah baru mau aku ledakkan, tapi ternyata air mataku
tidak bisa diajak kompromi.
Aku bingung, jadi ikut pulang bareng mereka dan aku harus siap
sakit hati atau aku tidur di tempat kakak? Aku mencoba menghubungi kakakku dan
dia menyuruhku untuk menunggu di situ sampai jam 5 sore nanti baru dijemput,
lalu aku melihat jam di HPku dan ternyata masih ada waktu satu setengah jam
untuk menunggunya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja, disamping
itu aku merasa gak enak ngrepotin kakakku.
Keluar dari masjid kami langsung dapat bus. Ups.... ternyata
sudah penuh dan terpaksalah kami bertiga beridri. Sebenarnya masih ada satu
tempat duduk tersisa di depan, mereka menawariku tapi aku menolaknya. “Kalau
kalian berdiri ya berdiri semua.” Kataku dalam hati. Kami turun di stasiun
untuk membeli karcis karena keesokan harinya Agam akan pergi ke Jakarta. Aku
melihat si Ina nempel terus pada Agam. Aku memilih berdiri agak jauh dari
mereka supaya mereka tidak merasa terganggu. Aku pun sibuk membaca
pengumuman-pengumuman yang tertera di stasiun itu.
Setelah karcis sudah di dapat, kami pun menuju terminal berniat
pulang. Sesampainya di terminal ternyata bus jurusan ke kota asal kami tidak
ada. Dalam situasi yang membingungkan itu, aku berjalan mundur menghindari
bus-bus yang sedang ngantri mencari penumpang dan ....
“aaaaaa.....................” aku menjerit. Spontan Agam
langsung mengulurkan kedua tangannya dan menolongku yang hampir terjerembab
masuk ke lembah hijau yang baunya tidak sedap itu alias got. Aku melihat Agam
khawatir tapi juga ingin tertawa namun dia tahan melihatku yang masih merasa
syok.
“Untung aja, gak sampai masuk. Memalukan!” Umpatku dalam hati.
Pas banget, pas haus, ada orang jualan buah-buahan. Hampir aja
aku kepincut namun aku urungkan niatku membeli setelah aku perhatikan dengan
seksama apa yang ada di samping si penjual. Iya, sampah-sampah yang menggunung
membuat seleraku hilang. Aku hanya bisa menelan ludah. lama jugaa menunggu bus
tidak ada yang muncul satupun, akhirnya kami memutuskan naik angkot dan
menunggu bus di jalan depan. Aku memberitahukan hal itu kepada teman-teman
gilaku dan walhasil mereka menertawakan aku dan kejadian yang menimpaku.
Mungkin juga aku kualat sama kakakku karena di suruh tidur ditempatnya aku
tidak mau.. bisa jadi begitu.
Lumayan lama pula hingga akhirnya dapat bus. Ternyata penuh
sesak dan tak ada satu pun dari kami yang mendapatkan tempat duduk bahkan kami
terpisah. Aku dan Ina berdiri di tengah-tengah penumpang di bagian tengah dan
Agam di belakang. Kira-kira kurang dari 30 menit akan sampai di terminal aku
baru dapat tempat duduk. “Duh, rasanya kakiku....” aku mengeluh dalm
hati.setelah bus berhenti, Ina pun pamit pulang duluan sedang Agam masih
menemaniku menunggu jemputan Duwik. Aku pun mengajak Agam makan dan lagi-lagi
aku tidak nafsu makan.
Sekitar lima belas menit setelah kami selesai makan, Duwik
muncul. Aku menyuruh Agam pulang duluan tapi....
“Mana helmku?” tanyaku pada Duwik
“Lho....?!” Duwik menjerit. Ekspresinya kaget melihat helmku
tidak dia bawa. Padahal selesai ngajar di bimbel dia pulang ke kos berniat
mengambil helmku lalu kembali menjemputku. Dan walhasil dia lupa membawakan aku
helm. Dasar pelupa! Aku menelfon Agam yang masih di tempat parkir, mau pinjam
helm. Lalu dia menghampiri kami. Dengan agak bingung Duwik memutuskan tidak
jadi meminjam helm. Aku pun menyuruh Agam pulang. Dengan berbagai cara akhirnya
aku memutuskan pinjam helm seorang teman yang rumahnya di dekat daerah situ.
Dan kami bisa pulang ke kos dengan selamat.
Malam itulah awal pertengkaran dimulai. Aku sms Agam meminta
maaf atas sikapku yang tidak seperti biasanya, yang cerewet dan ceplas ceplos.
Dan aku juga menceritakan semua apa yang menyebabkannya. Kami salah paham. Aku
mengeluh bahwa Agam nyuekin aku dan dia mengira aku menyibukkan diri dengan sms
dan telfon teman-teman gilaku Iya, aku tahu aku yang salah dan aku meminta maaf
padanya, namun tidak ada jawaban sama sekali.
Keesokan harinya aku mencoba menghubunginya lewat sms namun
tidak ada respon. Aku juga menghubunginya melalui e-mailnya dan masih tidak ada
respon. “Seberapa besarkah marahnya?” pikirku.
“Apakah kesalahanku yang belum bisa mengerti bagaimana dia
sebenarnya tidak bisa dimaafkan?” tanyaku dalam hati. Aku tidak menyerah untuk
menghubunginya bagaimanapun caranya agar dia bisa memaafkan aku.
Dan tepat satu minggu kemudian dia membalas semua pesanku. Dia
mengutarakan kekecewaannya terhadapku dari awal dia mengenal aku sampai
kejadian satu minggu lalu itu. Dia benar-benar sudah membenciku dan ilfil
terhadapku. Namun, dia benar. Aku memang tidak dewasa, tidak bisa mandiri juga
tidak peka terhadap lingkungan. Aku tidak pernah mengerti bagaimana dia namun
sebaliknya, dia mengerti bagaimana aku.
Dan kenapa dia harus menyalah artikan kebaikanku dan niat
tulusku selama ini? Apa harus aku jelaskan padanya satu persatu bahwa aku
memberi ini karena ini, aku melakukan ini karena ini?? Aku menganggapnya sudah
seperti saudara, seperti kakakku sendiri, teman terbaikku dan tempat curhatku.
Apa aku salah jika aku memberinya hadiah sebagai ungkapan rasa terima kasih
atas kebaikan dia padaku selama dua tahun ini? Walaupun aku tahu dia tidak
minta itu tapi aku juga makhluk yang tahu diri.
Bisa di bilang dia juga guru bagiku. Dia mengajarkan banyak hal
padaku terutama untuk selalu berfikir positif terhadap orang lain atau segala
peristiwa yang terjadi. Dia juga yang mengajariku agar jiwaku harus tetap
hidup.
Haruskah suatu hubungan baik berakhir seperti ini?? Tidak adakah
jalan untuk memperbaikinya?
Coba share cerpen nih...
jangan lupa like dan komen yaaa...
Marilah berkarya wahai jiwa muda generasi penerus bangsa, hee
hee
himaexa@gmail.com